PANCASILA DAN IMPLEMENTASI SILA KESATU
Kompetensi (Kemampuan Akhir Yang Diharapkan)
Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa dapat memahamiPancasila dan implementasi sila kesatu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Deskripsi
Dalam Bab ini Anda akan mempelajari pengertian tentangpemahaman bahwa nilai-nilai Pancasila sila kesatu harus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dua hal mendasar yang harus disadari ketika kita membahas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertama,untuk memahami secara tepat Pancasila seluruhnya, khususnya sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, kita harus membedakan antara isi Pancasila dan fungsi Pancasila. Sila kesatu itu dilambangkan dengan BINTANG. Tentang isi Pancasila, harus pula kita bedakan antara apa yang tersurat dan apa yang tersirat di dalamnya. Boleh dikatakan, bahwa isi Pancasila yang tersurat merupakan wadah bagi yang tersirat; dan oleh karena itu yang lebih pokok adalah isi yang tersirat.Tetapi sebagai wadah bagi isi yang tersirat, isi yang tersuratpun sangat penting, karena suatu perubahan pada isi yang tersurat akan mengubah pula isi yang tersirat, dan dengan demikian akan menggagalkan fungsi Pancasila seluruhnya.
Kedua, sila kesatu pada hakekatnya adalah suatu prinsip politik pembangunan bangsa dan negara Indonesia merdeka, bukan suatu prinsip teologis sesuai ajaran salah satu atau semua agama di Indonesia, khususnya agama-agama monoteis. Sebagai prinsip politik pembangunan bangsa dan negara, sila ini hendak mengingatkan seluruh bangsa Indonesia, khususnya para penyelenggara, dari pusat hingga ke daerah, bahwa seluruh proses pembangunan bangsa dan negara dalam rangka mengisi kemerdekaan harus dilaksanakan berdasarkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa? Pertama, karena kemerdekaan yang diraih oleh bangsa ini bukan pertama-tama merupakan hasil perjuangan seluruh rakyat, melainkan merupakan karunia pemberian Allah, sebagaimana tercantum di dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 : “ atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa ….”. Kedua, karena pasal 29 UUD 1945 secara tegas mengatakan : “ Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang MahaEsa mengayomi semua agama di Indonesia, kendatipun agama-agama itu berbeda-beda dalam ajaran-ajarandoktrinal tentang Tuhan.
Mengapa sila kesatu bukan suatu prinsip teologis? Karena bila demikian, maka kita akan berhadapan dengan pertanyaan : “Prinsip teologis agama manakah yang akan dipakai sebagai landasan bagi seluruh upaya pembangunan bangsa dan negara Indonesia, mengingat kenyataan pluralitas agama-agama di Indonesia, yang semuanya merasa turut serta aktif dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kenyataan sejarah penolakan dan penghapusan “tujuh kata” di belakang kata “Ketuhanan” menurut rumusan Piagam Jakarta, yaitu “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi bukti sejarah yang konkrit tentang hal ikhwal prinsip tersebut.
Sila kesatu dari Pancasila Dasar Negara NKRI adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat pada sila kesatu ini tidak lain menggunakan istilah dalam bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali. Banyak diantara kita yang salah paham mengartikan makna dari sila kesatu ini. Baik dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Umum kita diajarkan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dalam bahasa Sansekerta ataupun Pali, Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah Tuhan yang bermakna satu.
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan yang diberi imbuhanberupa awalan ke- dan akhiran - an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran - an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran - an dapat memberi makna perubahan menjadi antara lain: mengalami hal, dansifat-sifat.
Kata ketuhanan yang berasal dari kata Tuhan yang diberi imbuhan ke - dan - an bermakna sifat-sifat Tuhan. Dengan kata lain ketuhanan berarti sifat-sifat Tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan Tuhan.
Kata Maha berasal dari bahasa Sansekerta atau Pali yang bisa berarti mulia atau besar ( bukan dalam pengertian bentuk). Kata Maha bukan berarti sangat. Kata “esa” juga berasal dari bahasa Sansekerta atau Pali. Kata “esa” bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata “esa” berasal dari kata “etad” yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata “ini” (this- Inggris). Sedangkan kata “satu” dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sansekerta atau bahasa Pali adalah kata “eka”. Jika yang dimaksud dalam sila kesatu adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah “eka” bukan kata “esa”.
Dari penjelasan yang disampaikan di atas dapat dikesimpulan bahwa arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan Yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi berarti sifat-sifat luhur atau mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila kesatu dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau mulia, bukan Tuhannya.
Makna sila ini adalah :
1) Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2) Hormat dan menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
4) Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
5) Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti warga Indonesia harus memiliki agama monoteis namun frasa ini menekankan ke-esaan dalam beragama.
6) Mengandung makna adanya Causa Prima (sebab pertama) yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
7) Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
8) Negara memberi fasilitas bagi tumbuh kembangnya agama dan dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
9) Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agama masing-masing.
Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptaanNya. Pencipta itu adalah Causa Prima yang mempunyaihubungan dengan yang diciptakanNya. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Dalam konteks bernegara, maka dalam masyarakat yang berdasarkan Pancasila, dengan sendirinya dijamin kebebasan memeluk agama masing-masing. Sehubungan dengan agama itu perintah dari Tuhan dan merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, maka untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam alam Pancasila seperti kita alami sekarang ini tidak ada pemaksaan beragama, atau orang memeluk agama dalam suasana yang bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat Pancasila dengan sendirinya agama dijamin berkembang dan tumbuh subur dan konsekuensinya diwajibkan adanya toleransi beragama.
Jika ditilik secara historis, memang pemahaman kekuatan yang ada di luar diri manusia dan di luar alam yang ada ini atau adanya sesuatu yang bersifat adikodrati (di atas / di luar yang kodrat) dan yang transeden (yang mengatasi segala sesuatu) sudah dipahami oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Sejak jaman nenek moyang sudah dikenal paham animisme, dinamisme, sampai paham politheisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di dunia sampai masuknya agama-agama Hindu, Budha, Islam, Nasrani ke Indonesia, sehingga kesadaran akan monotheisme di masyarakat Indonesia semakin kuat. Oleh karena itu tepatlah jika rumusan sila kesatu Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa
Keberadaan Tuhan tidaklah disebabkan oleh keberadaban daripada makhluk hidup dan siapapun, sedangkan sebaliknya keberadaan dari makhluk dan siapapun justru disebabkan oleh adanya kehendak Tuhan. Karena ituTuhan adalah Prima Causa yaitu sebagai penyebab pertama dan utama atas timbulnya sebab-sebab yang lain. Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini adalah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selainNya adalah terbatas.
Negara Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, seperti pengertiannya terkandung dalam:
1) Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang antara lain berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa….” dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa negara Indonesia bukan negara agama, yaitu negara yang didirikan atas landasan agama tertentu, melainkan sebagai negara yang didirikan atas landasan Pancasila atau negara Pancasila.
2) Pasal 29 UUD 1945
Oleh karena itu di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya dengan paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh toleransi dalam batas-batas yang diijinkan oleh atau menurut tuntutan agama masing-masing, agar terwujud ketentraman dan kesejukan di dalam kehidupan beragama .
Untuk senantiasa memelihara dan mewujudkan tigamodel hidup yang meliputi:
Tri kerukunan hidup tersebut merupakan salah satu faktor perekat kesatuan bangsa.
Di dalam memahami sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, hendaknya para pemuka agama senantiasa berperan di depan dalam menganjurkan kepada pemeluk agama masing-masing untuk menaati norma-norma kehidupan beragama yang dianutnya.
Sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi sumber utama nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, yang menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan dari Sila kedua sampai dengan Sila kelima.
1) Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Alinea ketiga : “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Alinea ini bukan saja menegaskan lagi apa yang menjadi motivasi riil dan materiil bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi keyakinan/kepercayaan, menjadi motivasi spiritualnya bahwa maksud dan tindakannya menyatakan kemerdekaan itu digambarkan bahwa bangsa Indonesia mendambakan hidupnya yang berkeseimbangan, berkeseimbangan kehidupan material dan spiritual, keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat.
2) Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 29 : (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik Indonesia No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).
Pasal 3 : “Pedoman sebagaimana tersebut pasal 1 beserta penjelasannya terdapat dalam Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai lampiran merupakan bagiantak terpisah dari ketetapan ini”.
Naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa), di dalam Bab II No. 1 Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya yang adil dan beradab”.
4) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1983 tentang GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA.
Atas dasar kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka perikehidupan beragama dan perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama, di antara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.
Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik di dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial kemasyarakatan.
5) Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 tahun 1974.
Pasal 1 : “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2)Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Bab II Pencatatan Perkawinan:
Pasal 2 : (1) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 32 tahun 1954, Tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk.
(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai Perundang-undangan mengenai Pencatatan Perkawinan.
Adanya pernyataan pengakuan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa secara yuridis konstitusional ini, mewajibkan pemerintah/aparat negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Dengan demikian dasar ini merupakan kunci dari keberhasilan bangsa Indonesia untuk menuju pada apa yang benar baik dan adil. Dasar ini merupakan pengikat moril bagi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas-tugas negara, seperti memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya(pasal 29 ayat 2 UUD 1945).
Jaminan kemerdekaan beragama yang secara yuridis konstitutional ini membawa konsekuensi pemerintah sebagai berikut:
Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan beragama bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sila-sila yang lain. Oleh karena itu kehidupan beragama harus dapat membawa persatuan dan kesatuan bangsa, harus dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, harus dapat menyehatkan pertumbuhan demokrasi, sehingga membawa seluruh rakyat Indonesia menuju terwujudnya keadilan dan kemakmuran lahir dan batin. Dalam hal ini berarti bahwa sila kesatu memberi pancaran keagamaan, memberi bimbingan pada pelaksanaan sila-sila yang lain.
3) Sebagai sarana untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa, maka asas kebebasan memelukagama ini harus diikuti dengan asas toleransi antar pemeluk agama, saling menghargai dan menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka masing-masing.
4) Kehidupan beragama tidak bisa dipisahkan sama sekali dari kehidupan duniawi/kemasyarakatan. Dua-duanya merupakan satu sistem sebagaimana satunya jiwa dan raga dalam kehidupan manusia. Agama sebagai alat untuk mengatur kehidupan di dunia, sehingga dapat mencapai kehidupan akherat yang baik. Kehidupan beragama tidak bisa lepas dari pembangunan masyarakat itu sendiri, bangsa dan negara demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran materiil maupun spiritual bagi rakyat Indonesia. Semakin kuat keyakinan dalam agama, semakin besar kesadaran tanggungjawabnya kepada Tuhan, bangsa dan negara, semakin besar pula kemungkinan terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi bangsa itu sendiri.
Isi butir-butir sila kesatu :
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Penciptaan kerukunan antar umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat, dalam kenyataannya, tidak selalu berjalan mulus seperti yang dicita-citakan. Ternyata masih banyak terdapat hambatan-hambatan yang muncul baik dari campur tangan pemerintah maupun dari golongan penganut agama dan kepercayaan itu sendiri. Hal ini bisa saja disebabkan karena penghayatan terhadap Pancasila, khususnya sila Ketuhanan, tidak dapat dipahami dan dihayati secara mendalam dan menyeluruh. Akibatnya muncul ideologi-ideologi atau paham-paham yang berbasiskan ajaran agama tertentu. Sehingga seakan-akan bahwa sila kesatu dari Pancasila itu hanya dimiliki oleh salah satu agama tertentu saja. Dengan kata lain bahwatoleransi dan sikap menghargai agama atau umat kepercayaan lain ternyata belum sepenuhnya dapat disadari dan diwujudkan. Tentu saja karena adanya golongan-golongan tertentu yang memiliki paham bahwa hanya kepercayaannya atau hanya ajaran agamanya sajalah yang paling baik dan benar. Pandangan atau paham yang sempit mengenai pamahaman terhadap agama dan kepercayaan yang seperti ini dapat menimbulkan atau mengundang konflik serta gejolak dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Konflik antar kelompok agama terkadang juga dapat dipicu kerena kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah (Departemen Agama).Seharusnya, Departemen Agama adalah lembaga yang bersifat netral, yang membawahi seluruh unsur-unsur agama yang ada atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan memegang teguh nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Pancasila. Jangan malah mengeluarkan suatu kebijakan yang merugikan ataupun menguntungkan agama-agama tertentu, yang dapat menimbulkan konflik atau ketegangan antar umat beragama yang tentu saja berbeda agama dan kepercayaannya.
Departemen Agama tidak boleh mengurusi ataupun ikut campur tangan terhadap kedaulatan suatu agama.Namun, hanya bertindak sebagai pengontrol dan penjamin. Aturan-aturan atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan hanya sebatas untuk menjaga ketertiban dan keamanan antar umat beragama, demi tercapainya kerukunan dan kerjasama antar umat beragama.
Namun kenyataannya, lembaga keagamaan di Indonesia seringkali masih menguntungkan agama-agama tertentu. Salah satu contohnya adalah kasus Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (SKB dua Menteri), terutama mengenai perijinan pembangunan rumah ibadah. Dimana disebutkan bahwa syarat untuk mendirikan rumah / tempat ibadah sedikitnya atau batas minimalnya jika ada 100 orang dalam satu wilayah yang beragama sama. SKB dua Menteri tersebut sangat tidak relevan dan cenderung diskriminatif terhadap agama tertentu, bahkan berpotensi memecah belah kerukunan antar umat beragama melalui isu-isu agama, dan membatasi ruang gerak umat beragama untuk melaksanakan ibadahnya. SKB dua Menteri tersebut dapat dikatakan telah melanggar hak asasi manusia dalam hal menjalankan ibadah, dan tidak sesuai dengan Pancasila. Surat Keputusan tersebut juga menimbulkan dampak yang cukup serius, yakni tercatat ada lebih dari 1.000 gereja di Indonesia rusak dan hancur akibat dirusak massa karena keberadaannya tidak sesuai syarat yang tertuang dalam SKB dua Menteri tersebut. SKB dua Menteri itupun ada yang pro dan kontra. Tetapi, juga menimbulkan berbagai macam kecaman, bahkan dapat menimbulkan suatu konflik yang menuju pada perpecahan.
Jika kita mencoba menganalisis dari isi kebijakan Surat Keputusan tersebut, terutama yang menyangkut masalah syarat pendirian tempat ibadah, maka di daerah atau di provinsi-provinsi tertentu banyak umat-umat beragama yang tidak dapat membangun tempat ibadah untuk menjalankan dan menyebarkan ajaran agamanya. Misalnya saja, di Pulau Bali, berarti di pulau ini hanya Pura-Pura sajalah yang boleh didirikan, karena hampir seluruh penduduk Bali menganut agama Hindu. Begitu pula seperti di Papua (mayoritas Kristen), Madura (Islam), dan tempat-tempat lain yang terdapat mayoritas beragama sama. Bukankah hanya akan menimbulkan konflik antar umat beragama. Bahkan menjurus pada perpecahan.
Dari contoh-contoh kasus di atas menunjukkan bahwaidealis terhadap agama tertentu ternyata masih banyak terdapat di dalam kelompok masyarakat di Indonesia.
Ketuhanan Yang Maha Esa suatu asas yang mengandung kebenaran universil, artinya diakui oleh umat manusia dari jaman purbakala sampai kepada jaman modern dewasa ini, walaupun bentuk dan isinya tidak sama, dan pada setiap jaman itu terdapat pula sementara orang yang tidak memperhatikan atau mengabaikan dan tidak mengakui atau mengingkarinya.
Menurut keyakinan bangsa Indonesia, bila setiap orang bebas merenungkan dan berpikir, maka orang itu tentu mengakui adanya Tuhan itu, karena setiap orang yang menginsafi bahwa ia sebagai manusia tidak menciptakan dirinya dan tidak dapat menguasai jalan hidupnya sendiri, hidup matinya pada tingkatan terakhir berjalan di luar kehendaknya.
Apabila manusia berpikir secara kausalitas, atau hukum sebab akibat, bahwa terjadinya alam semesta dan segala sesuatu di dalam dan sekitarnya berdasar adanya sebab (causa) yang menimbulkan atau menghasilkan akibat(resultat), yang selanjutnya akan merupakan causa baru. Atau bila orang berpikir secara dialektis baik itu buah pikiran (Hegel) maupun Mark, bahwa adanya segala sesuatu ataupun kenyataan-kenyataan kebendaan itu adalah melalui proses perbenturan antara these dananthithese yang melahirkan synthese, yang untuk selanjutnya menjadi these baru yang bertemu lagi dengananthithese baru lainnya untuk menghasilkan synthese baru lain pula. Cara-cara berpikir demikian tidak dapat menghilangkan suara hati nurani manusia untuk tidak mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan hukum causalitas orang akan sampai pada pertanyaan : Apakah yang merupakan sebab (causa) yang pertama atau suatu sebab yang tidak disebabkan lagi? Mereka mengakui adanya sebab yang pertama itu atau “Causa prima”.Menurut Pancasila apa yang mereka katakan “causa prima” itulah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu asas Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah suatu kebenaran yang universil, orang dapat tidak mengakuinya, tetapi sikap demikian menurut pandangan hidup Pancasila tidak tepat dan tidak bijaksana. Materialisme yang tidak mengetahui Tuhan itu kenyataannya malah memperhambakan diri kepada benda atau sesama manusia yang menyebabkan kehidupan manusia lebih terkekang, kering dan gersang. Materi sebanyak apapun juga tidak memberi kepuasan batin manusia, malahan menurut sementara filosof Barat sendiri menyebabkan manusia gila, kejam, miskin di dalam kekayaan, sepi dalam keramaian, karena manusia itu melepaskan diri dari fitrahnya, tidak mengakui apalagi berhubungan baik dengan Tuhan yang menciptakan segala-galanya termasuk dirinya sendiri. Manusia modern demikian kering daripada perbendaharaan spirituil.
Daftar Pustaka
Hamidy R. 2011. Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer, AMIKOM.
Iriyanto, Ws, 2009, Bahan Kuliah Filsafat Ilmu, Pasca Sarjana, Semarang
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan dan Keamanan, :http://www.harypr.com/PSP UGM dan Yayasan TIFA, Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila, Edisi ke 1, Cetakan ke 1, Aditya Media bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila (PSP), Yogyakarta dan Yayasan TIFA Jakarta
Syarbaini, Syahrial, 2012, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor.
Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
http://kapanpunbisa.blogspot.com/2012/01/ketuhanan-yang-maha-esa.html
Komentar
Posting Komentar