PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

 PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA




Kompetensi (Kemampuan Akhir Yang Diharapkan)

 

Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa dapat menganalisis pemahaman Pancasila yang hidup dalam setiap tata peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

 

Deskripsi

 

Dalam Bab ini Anda akan mempelajari mengenaipengetahuan tentang hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD Tahun 1945, Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD tahun 1945, dan Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan serta keamanan.




 1.PENDAHULUAN

 

         Dasar negara Indonesia, dalam pengertian historisnya merupakan hasil pergumulan pemikiran para pendiri negara (The Founding Fathers) untuk menemukan landasan atau pijakan yang kokoh untuk di atasnya didirikan negara Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu baru mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Latif (2002: 5) menyebutkan bahwa setidaknya sejak dekade 1920-an pelbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai usaha mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan dalam rangka membentuk “blok historis” (blok nasional) bersama demi mencapai kemerdekaan.


         BPUPKI yang selanjutnya disebut dalam bahasa Jepang sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Persiapan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk pada 29 April 1945 sebagai realisasi janji kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945 dari pemerintah Jepang. Anggota BPUPKI berjumlah 63 orang, termasuk Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua, Itibangase Yosio (anggota luar biasa yang berkebangsaan Jepang) dan R. Pandji Soeroso (merangkap Tata Usaha) masing-masing sebagai wakil ketua. Pembicaraan mengenai rumusan dasar negara Indonesia melalui sidang-sidang BPUPKI berlangsung dalam dua babak, yaitu: pertama, mulai 29 Mei sampai 1 Juni 1945; dan kedua, mulai 10 Juli sampai 17 Juli 1945.


         Pergumulan pemikiran dalam sejarah perumusan dasar negara Indonesia bermula dari permintaan Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua BPUPKI pada 29 Mei 1945 kepada anggota sidang untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka. Untuk merespon permintaan Ketua BPUPKI, maka dalam masa sidang pertama, yaitu 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Muhammad Yamin dan Soekarno mengajukan usul berhubungan dengan dasar negara. Soepomo juga menyampaikan pandangannya dalam masa sidang ini namun hal yang dibicarakan terkait aliran atau paham kenegaraan, bukan mengenai dasar negara.


         Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda, philosophische grondslag bagi Indonesia merdeka.

Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut dasar negara dengan istilah weltanschauung’ atau pandangan hidup(Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), 1995: 63, 69, 81, dan RM. A.B. Kusuma, 2004: 117, 121, 128-129).

         Susunan nilai atau prinsip yang menjadi fundamen atau dasar negara pada masa sidang pertama BPUPKI tersebut berbeda-beda. Usul Soekarno mengenai dasar negara yang disampaikan dalam pidato 1 Juni 1945 terdiri atas lima dasar. Menurut Ismaun, sebagaimana dikutip oleh Bakry (2010: 31), setelah mendapatkan masukan dari seorang ahli bahasa, yaitu Muhammad Yamin yang pada waktu persidangan duduk di samping Soekarno, lima dasar tersebut dinamakan oleh Soekarno sebagai ‘Pancasila’.


         Untuk menampung usulan-usulan yang bersifat perorangan, dibentuklah panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno dan dikenal sebagai “Panitia Sembilan. Darirumusan usulan-usulan itu, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Rancangan Mukadimah (Pembukaan) Hukum Dasar yang dinamakan “Piagam Jakarta” atauJakarta Charter oleh Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945.


Rumusan dasar negara yang secara sistematik tercantum dalam alinea keempat, bagian terakhir pada rancangan Mukadimah tersebut adalah sebagai berikut:

1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


         Sidang BPUPKI kedua, yaitu 10 Juli sampai 17 Juli 1945 merupakan masa penentuan dasar negara Indonesia merdeka. Selain menerima Piagam Jakarta sebagai hasil rumusan Panitia Sembilan, dalam masa sidang BPUPKI kedua juga dibentuk panitia-panitia Hukum Dasar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok Panitia Perancang Hukum Dasar. Sidang lengkap BPUPKI pada 14 Juli 1945 mengesahkan naskah rumusan Panitia Sembilan berupa Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan menerima seluruh Rancangan Hukum Dasar (RHD) pada hari berikutnya, yaitu 16 Agustus 1945 yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya termuat Piagam Jakarta sebagai Mukadimah.


         Setelah sidang BPUPKI berakhir pada 17 Juli 1945, maka pada 9 Agustus 1945 badan tersebut dibubarkan oleh pemerintah Jepang dan dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan atau dalam bahasa Jepang disebutDokuritsu Zyunbi Inkai yang kemudian dikenal sebagaiPanitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan mengangkat Soekarno sebagai ketua dan Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Panitia ini memiliki peranan yang sangat penting bagi pengesahan dasar negara dan berdirinya negara Indonesia yang merdeka. Panitia yang semula dikenal sebagai ‘Buatan Jepang’ untuk menerima “hadiah” kemerdekaan dari Jepang tersebut, setelah takluknya Jepang di bawah tentara Sekutu pada 14 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan negara Indonesia, berubah sifat menjadi Badan NasionalIndonesia yang merupakan jelmaan seluruh bangsa Indonesia.


         Dalam sidang pertama PPKI, yaitu pada 18 Agustus 1945, berhasil disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang disertai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan perubahan atas Piagam Jakarta atau Rancangan  Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan Rancangan Hukum Dasar (RHD). Pengesahan dan penetapan setelah dilakukan perubahan atas Piagam Jakarta tersebut tetap mencantumkan lima dasar yang diberi nama Pancasila. Atas prakarsa Moh, Hatta, sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dalam Piagam Jakarta sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 


Dengan demikian, Pancasila menurut Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1) Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


         Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh Soekarno (1960: 42) bahwa dalam mengadakan Negara Indonesia merdeka itu “harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.” Selanjutnya Soekarno menegaskan dengan berkata, “Saya beri uraian itu tadi agar saudara-saudara mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan yang bisa menjadi leitstar dinamis. Leitstar adalah istilah dari bahasa Jerman yang berarti ‘bintang pimpinan’. Lebih lanjut, Soekarno mengatakan,“Kalau kita mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan jikalau kita mencari suatu leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalam-dalamnya di dalam jiwa masyarakat kita sendiri…Kalau kita mau memasukkan elemen-elemen yang tidak ada di dalam jiwa Indonesia, tidak mungkin dijadikan dasar untuk duduk di atasnya.”




 2.PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA

 

         Dasar artinya landasan atau pondasi. Jika kita melihat orang membuat bangunan rumah yang pertama dibuat adalah pondasi. Pondasi itu berasal dari batu kali, besi cakar ayam dan adukan semen dengan pasir. Tujuannya agar kuat dan kokoh sehingga dapat menahan bangunan yang berada di atasnya. Dasar negara adalah suatu pondasi  yang terdiri dari unsur yang kuat dan kokoh untuk mendirikan suatu negara sehingga negara nantinya tidak runtuh dan bubar. Bagi kita dasar negara  kita adalah Pancasila yang telah terbukti mampu menjaga dan menahan negara kita tidak runtuh dan bubar.



1).Pancasila sebagai ideologi terbuka


         Ideologi adalah gabungan dari dua kata majemuk idea danlogos, yang berasal dari bahasa  Yunani eidos dan logos.Secara sederhana artinya suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran yang sedalam-dalamnya dan merupakan pemikiran filsafat. Dalam arti kata luas adalah  keseluruhan cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif.  Dalam arti ini ideologi disebut terbuka. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan dan teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia  harus hidup dan bertindak.


Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dapat diartikan sebagai suatu pemikiran yang memuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah, manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia yang bersumber dari kebudayaan  Indonesia. Pancasila sebagai ideologi nasional mengandung nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu cara berpikir dan cara kerja perjuangan.


Ciri khas ideolgi terbuka adalah nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri. Dasarnya dari konsensus (kesepakatan) masyarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan dalam masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua rakyat, masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya. Nilai-nilai dasar menurut pandangan negara modern bahwa negara modern hidup dari nilai-nilai dan sikap-sikap dasarnya.


Ideologi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi dengan perkembangan jaman dan adanya dinamika secara internal. Sumber semangat ideologi terbuka itu, sebenarnya terdapat dalam penjelasan umum UUD 1945, yang menyatakan, “… Terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caramembuatnya, mengubahnya dan mencabutnya.”


Selanjutnya dinyatakan, “… Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya bernegara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.”


Suatu ideologi yang wajar ialah bersumber atau berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, ideologi tersebut akan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kecerdasan kehidupan bangsa. Hal ini adalah suatu prasyarat bagi suatu ideologi. Berbeda halnya dengan ideologi yang diimpor (dari luar negara), yang akan bersifat tidak wajar dan sedikit banyak memerlukan pemaksaan oleh kelompok kecil manusia yang mengimpor ideologi tersebut. Dengan demikian, ideologi tersebut bersifat tertutup. Kenyataan ini telah terjadi dalam ideologi komunis yang diimpor ke berbagai negara, sehingga ideologi ini tidak dapat bertahan lama, terbukti bubarnya negara Uni Soviet yang paling ekstrim melaksanakan komunisme.


Pancasila berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafah bangsa, sehingga memenuhi prasyarat suatu ideologi terbuka. Sekalipun ideologi ini bersifat terbuka, tidak berarti bahwa keterbukaannya adalah sebegitu rupa sehingga dapat memusnahkan atau meniadakan ieologi itu sendiri, hal mana merupakan suatu yang tidak logis atau nalar. Suatu ideologi sebagai rangkuman gagasan-gagasan dasar yang terpadu dan bulat tanpa kontradisi atau saling bertentangan dalam aspek-aspeknya, pada hakekatnya berupa suatu tata nilai, di mana nilai dapat kita rumuskan sebagai hal ikhwal buruk baiknya sesuatu, yang dalam hal ini ialah apa yang dicita-citakan.

 

Faktor  yang mendorong keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut:


a.Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika msyarakat yang berkembang secara cepat.
b.Kenyataan menunjukkan bahwa bangkrutnya ideologiyang tertutup dan beku cenderung meredupkan perkembangan dirinya, seperti bagaimana komunisme ditinggalkan oleh sebagian besar negara-negara Eropa Timur dan Rusia.
c.Pengalaman sejarah politik masa lampau, seperti dominasi pemerintah Orde Baru untuk melaksanakan penataran Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila (P4), yang mana materi penataran P4 itu sesuatu yang dirumuskan oleh kemauan pemerintah, bukan atas keinginan dari segenapkomponen masyarakat Indonesia, sehingga hasilnya jauh dari harapan yang diinginkan.
d.Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional.

 


         Keterbukaan ideologi Pancasila ditujukan dalam penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang dapat berubah sesuai dengan keadaan, dan nilai praksis berupa pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma-norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan UUD 1945. Nilai  atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 ini tidak boleh berubah atau diubah, karena itu adalah pilihan dan hasil kesepakatan (konsensus) bangsa.


        Perwujudan dan pelaksanaan nilai-nilai instrumental adalah pasal-pasal dari UUD 1945 yang dapat mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan jaman, seperti yang telah dilaksanakan oleh MPR dengan melakukan Amandemen UUD 1945 di Era Reformasi ini. Contoh dari perubahan instrumental itu adalah pemilihan Presiden yang berubah dari MPR kepada rakyat yang langsung memilih. Sedangkan nilai-nilai praksis tercermin dalam undang-undang, peraturan pemerintah dan seterusnya yang berhubungan dengan kenyataan kehidupan dalam masyarakat. Baik nilai-nilai instrumental maupun nilai praksis harus tetap mengandung jiwa dan semangat yang sama dengan nilai dasarnya, yaitu Pancasila atau Pembukaan UUD 1945.



2).Batas-batas Keterbukaan Ideologi Pancasila


Sekalipun Pancasila memiliki sifat keterbukaan, namun ada batas-batas keterbukaan itu yang tidak boleh dilanggar, yaitu sebagai berikut:


a.Stabilitas nasional yang dinamis,
b.Larangan terhadap ideologi Marxisme, Lenninisme dan Komunisme.
c.Mencegah berkembangnya paham Liberalisme.
d.Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan bermasyarakat.
e.Penciptaan norma-norma baru harus melalui konsensus.





 3.HUBUNGAN PANCASILA DENGAN PEMBUKAAN UUD 1945


         Berdasarkan ajaran Stuffen Theory dari Hans Kelsen, menurut Abdullah (1984: 71), hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar yang berbentuk piramida di atas menunjukkan Pancasila sebagai suatu cita-cita hukum yang berada di puncak segi tiga. Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gambar piramida tersebut mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia.


         Pancasila sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara dan yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak tertulis di Indonesia. Citahukum inilah yang mengarahkan hukum pada cita-cita bersama bangsa Indonesia. Cita-cita ini secara langsung merupakan cerminan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga bangsa. 


         Dalam pengertian yang bersifat yuridis kenegaraan, Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas menyatakan, “...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.


         Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara pada hakekatnya adalah sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo. Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi yuridis, yaitu bahwa seluruh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus sejiwa dan sejalan dengan Pancasila. Dengan kata lain, isi dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila.


         Berdasarkan penjelasan di atas, hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami sebagai hubungan yang bersifat formal dan material. Hubungan secara formal, seperti dijelaskan oleh Kaelan (2000: 90-91), menunjuk pada tercantumnya Pancasila secara formal di dalam Pembukaan yang mengandung pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya bertopang pada asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural, religius dan asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya terdapat dalam Pancasila. Dalam hubungan yang bersifat formal antara Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat ditegaskan bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea keempat. Menurut Kaelan (2000: 91), Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan Pokok Kaedah Negara yang Fundamental sehingga terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena Pembukaan itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2) memasukkan dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib hukum tertinggi.

 

         Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan sumber bagi batang tubuh UUD NRI tahun 1945. Hal ini disebabkan karena kedudukan hukum Pembukaan berbeda dengan pasal-pasal atau batang tubuh UUD NRI tahun 1945, yaitu bahwa selain sebagai Mukadimah, Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mempunyai kedudukan atau eksistensi sendiri. Akibat hukum dari kedudukan Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak dapat diubah dengan jalan hukum dan melekat pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia. 


         Lebih lanjut, Kaelan (2000: 91-92) menyatakan bahwa Pancasila adalah substansi esensial yang mendapatkan kedudukan formal yuridis dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Oleh karena itu, rumusan dan yuridiksi Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Perumusan Pancasila yang menyimpang dari Pembukaan secara jelas merupakan perubahan secara tidak sah atas Pembukaan UUD NRI tahun 1945.


         Adapun hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 secara material adalah menunjuk pada materi pokok atau isi Pembukaan yang tidak lain adalah Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang demikian itulah maka Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat disebut sebagai Pokok Kaedah Negara yang Fundamental, sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (tt.: 40), esensi atau inti sari Pokok Kaedah Negara yang Fundamental secara material tidak lain adalah Pancasila.


         Menurut pandangan Kaelan (2000: 92), bilamana proses perumusan Pancasila dan Pembukaan ditinjau kembali maka secara kronologis materi yang dibahas oleh BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila, baru kemudian Pembukaan. Setelah sidang pertama selesai, BPUPKI membicarakan Dasar Filsafat Negara Pancasila dan berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama Pembukaan UUD NRI tahun 1945.


         Dalam tertib hukum Indonesia diadakan pembagian yang hirarkis. Undang-Undang Dasar bukanlah peraturan hukum yang tertinggi. Di atasnya masih ada dasar pokok bagi Undang-Undang Dasar, yaitu Pembukaan sebagai Pokok Kaedah Negara yang Fundamental yang di dalamnya termuat materi Pancasila. Walaupun Undang-Undang Dasar itu merupakan hukum dasar Negara Indonesia yang tertulis atau konstitusi, namun kedudukannya bukanlah sebagai landasan hukum yang terpokok.

Menurut teori dan keadaan, sebagaimana ditunjukkan oleh Bakry (2010: 222), Pokok Kaedah Negara yang Fundamental dapat tertulis dan juga tidak tertulis. Pokok Kaedah yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu sebagai hukum positif, dengan kekuasaan yang ada dapat diubah walaupun sebenarnya tidak sah. Walaupun demikian, Pokok Kaedah yang tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu memiliki formulasi yang tegas dan sebagai hukum positif mempunyai sifat imperatif yang dapat dipaksakan.


         Pokok Kaedah yang tertulis bagi negara Indonesia pada saat ini diharapkan tetap berupa Pembukaan UUD NRI tahun 1945. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 tidak dapat diubah karena menurut Bakry (2010: 222), fakta sejarah yang terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat juga tidak digunakan sebagai Pokok Kaedah tertulis yang dapat diubah oleh kekuasaan yang ada, sebagaimana perubahan ketatanegaraan yang pernah terjadi saat berlakunya Mukadimah Konstitusi RIS 1949 dan Mukadimah UUDS 1950.


         Sementara itu, Pokok Kaedah yang tidak tertulis memiliki kelemahan, yaitu karena tidak tertulis maka formulasinya tidak tertentu dan tidak jelas sehingga mudah tidak diketahui atau tidak diingat. Walaupun demikian, Pokok Kaedah yang tidak tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu tidak dapat diubah dan dihilangkan oleh kekuasaan karena bersifat imperatif moral dan terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia (Bakry, 2010: 223).


Pokok Kaedah yang tidak tertulis mencakup hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum etis. Pokok Kaidah yang tidak tertulis adalah fundamen moral negara, yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

 




4.PENJABARAN PANCASILA DALAM BATANG TUBUH UUD 1945


A.Pengakuan Demokrasi Dalam Pancasila


         Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang berbentuk Republik Indonesia, hal ini sesuai dengan pasal 1 UUD 1945, negara kita ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dengan berbentuk negara kesatuan Republik Indonesia maka negara kita bernafaskan sistem pemerintahan yang Demokrasi yaitu Demokrasi mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang dijadikan sebagai landasan idiil oleh masyarakat Indonesia. Melalui sistem demokrasi ini, rakyat memiliki kebebasan dalam menentukan keinginan dan pelaksanaannya.


         Sebagai negara kesatuan Republik Indonesia yang bernafaskan demokrasi. Indonesia telah menjadikan demokrasi sebagai suatu sistem alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga masyarakat tentang demokrasi. (Mahfud MD, Moh, 1999, hlm. 111).


         Hakekat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan (Widjaja, 2002, hlm.197)

 




B. Pengakuan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Pancasila.


1. Hak Asasi Manusia Dalam Perundang-undangan


         Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam perundang- undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI paling tidak ada empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan pelaksanaan lainnya. (Tim ICCE UIN Jakarta, 2003, hlm. 221)



2.Hubungan Pancasila dengan UUD 1945

         Pancasila dasar negara kita dirumuskan dari nilai-nilaikehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari pandangan hidup bangsa yang merupakan kepribadianbangsa, perjanjian luhur serta tujuan yang hendak diwujudkan. Karena itu Pancasila dijadikan ideologi negara.
Pancasila merupakan kesadaran cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang memiliki suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia, melandasi Prolamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

         Untuk mewujudkan tujuan Proklamasi Kemerdekaan maka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah menetapkan UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis yang mengikat pemerintah, setiap lembaga/masyarakat, warga negara dan penduduk RI pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Pembukaannya terdapat pokok-pokok pikiran tentang kehidupan bermasyarakat, bernegara yang tiada lain adalah Pancasila pokok-pokok pikiran tersebut yang diwujudkan dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 yang merupakan aturan aturan pokok dalam garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk melaksanakan tugasnya.


         Jadi pancasila itu di samping termuat dalam pembukaan UUD 1945 (rumusannya dan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya) dijabarkan secara pokok dalam wujud pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945.

UUD bukanlah hukum dasar biasa, melainkan hukum dasar yang merupakan sumber hukum. Setiap produk hukum misalnya undang-undang, peraturan pemerintah atau keputusan pemerintah, bahkan setiap kebijaksanaan pemerintah haruslah berlandaskan atau bersumberkan pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat dipertanggungjawabkan pada ketentuan UUD 1945.


         Di samping UUD, masih ada hukum dasar yang tidak tertulis yang juga merupakan sumber hukum, yang menurut Penjelasan UUD 1945 merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelengaraannegara, meskipun tidak tertulis”. Inilah yang dimaksudkan dengan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan sebagai pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul dari praktek kenegaraan, karena aturan tersebut tidak terdapat dalam UUD.

UUD 1945 yang hanya terdiri dari 37 pasal ditambah dengan 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan, maka UUD 1945 termasuk singkat dan bersifat supel atau fleksibel. 

        Dalam hubungan ini penjelasan UUD 1945 mengemukakan bahwa telah cukuplah kalau UUD hanya memuat aturan-aturan pokok garis-garis besar sebagai intruksi kepada Pemerintah pusatdan lain-lain penyelengaraan negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara. Jadi kita harus menjadikan supaya sistem UUD jangan sampai ketinggalan jamaialah semangat para pemimpin pemerintahan, yaitu semangat yang dinamis, positif dan konstruktif seperti yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945.

         Pancasila, UUD 1945 dan Proklamasi 17 Agustus 1945 mempunyai hubungan dalam dua aspek, yaitu aspek kesejarahan, dan aspek kemakmuran. Hubungan aspek kesejarahan, yaitu bahwa riwayat singkat perumusan dan kesepakatan Pancasila bersama dengan perumusan naskah Proklamasi dan UUD, yang dilakukan oleh para tokoh perjuangan kemerdekaan dan pendiri negara RI yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Hubungan aspek kemakmuran, yaitu bahwa rumusan Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan pokok kaedah negara fundamental, dengan demikian Pancasila mempunyai hakekat, sifat dan kedudukan serta fungsi sebagai pokok kaedah negara fundamental, sebagai dasar kelangsungan hidup negara RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

         NKRI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan Pancasila sebagai dasar Negaranya dan UUD 1945 sebagai hukum dasar tersebut, merupakanpuncak perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.Corak pergerakan perjuangan kemerdekaan tersebut dapat dibagi atas tiga corak, yaitu ada yang bercorak kebangsaan, ada yang bercorak religius dan ada yang bercorak sosiolistik.

Pergerakan perjuangan yang bercorak kebangsaan yaitu pergerakan yang bertujuan untuk mendirikan negara merdeka yang menjadi milik semua orang dan golongan dalam masyarakat, urusan agama tidak termasuk urusan negara.


         Pergerakan perjuangan yang bercorak religius, yaitu pergerakan yang bertujuan untuk mendirikan negara merdeka dengan agama Islam sebagai dasarnya. Pergerakan perjuangan yang bercorak sosiolistik, negara merdeka dengan dasar sosiolistik, negara merdeka dengan dasar sosiolisme dan komunisme.






5.IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN NEGARA DALAM BIDANG POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA, DAN HANKAM

 

        Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi “yang menyandangnya”.


Yang menyandangnya itu di antaranya:

1.Bidang Politik
2.Bidang Ekonomi
3.Bidang Sosial Budaya
4.Bidang Hankam


1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

        

         Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subyek atau pelaku politik bukansekadar obyek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subyek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai Pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila keempatPancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada Pancasila.


         Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.

Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:

• Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;

•Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;

• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;

• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;

• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

         Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam perwujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:

~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).



2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi


         Sesuai dengan paradigma Pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada Pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas Ketuhanan (sila kesatu Pancasila) dan Kemanusiaan ( sila kedua Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dan humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. 


         Sistem ekonomi yang menghargai hakekat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial,makhluk pribadi maupun makhluk Tuhan.

Sistem ekonomi yang berdasar Pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subyek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 


         Sistem ekonomi yang berdasar Pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.

Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.


         Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesar-besar kemakmuran/kesejahteraan rakyat, yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.


         Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.

 


3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya


         Pancasila pada hakekatnya bersifat humanistik karena memang Pancasila bertolak dari hakekat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.


         Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila Persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.

         Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).


         Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era Otonomi Daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan pemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).


         Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan -kebudayaan di daerah:


(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjungtinggi oleh segenap WNI tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;

(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;

(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;

(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 














4.Pancasila Sebagai Paradigma Dalam Kebijakan Hankam        

 

         Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara. Maka dari itu pertahanan dan keamanan negara harus mendasarkan pada tujuan demi terjaminnya harkat dan martabat manusia, terutama secara rinci terjaminnya hak-hak asasi manusia. Dengan adanya tujuan tersebut maka pertahanan dan keamanan negara harus dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, guna mencapai tujuan yaitu demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan YME (sila kedua), Pancasila juga harus mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga sebagai warga negara (sila ketiga), pertahanan keamanan harus mampu menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan (sila keempat) dan akhirnya pertahanan keamanan haruslah diperuntukkan demi terwujudnya keadilan dalam hidup masyarakat atau terwujudnya suatu keadilan sosial (sila kelima) dan diharapkan negara benar-benar meletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan atas kekuasaan sehingga mengakibatkan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

 

         Pengembangan Hankam negara tetap bertumpu dan berpegang pada pendekatan historis Sishankamrata. Sishankamrata yang kita anut selama ini adalah sistem pertahanan dan keamanan negara yang hakekatnya adalah perlawanan rakyat semesta. Dalam arti bahwa kemampuan penangkalan yang diwujudkan oleh sistem ini, sepenuhnya disandarkan kepada partisipasi, semangat dan tekad rakyat yang diwujudkan dengan kemampuan bela negara yang dapat diandalkan. Kesemestaan harus dibina sehingga seluruh kemampuan nasional dimungkinkan untuk dilibatkan guna menanggulangi setiap bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. .

         Seluruh wilayah merupakan tumpuan perlawanan dan segenap lingkungan harus dapat didayagunakan untuk mendukung setiap bentuk dan kesemestaan, memang menuntut pemanduan upaya lintas sektoral serta pemahaman dari semua pihak, baik yang berada di suprastruktur politik maupun di infrastruktur politik. Corak perlawanan rakyat semesta tersebut dengan sendirinya merupakan kebutuhan, baik konteks kesiapan menghadapi pengaruh sosial yang setiap saat bisa terjadi, maupun menghadapi pengaruh bidang hankam. Di samping itu TNI juga mendapat tugas bantuan yang meliputi: Pertama, membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan. 
Kedua, memberikan bantuan kepada kepolisian atas permintaan. Ketiga, membantu tugas pemeliharaan perdamaian

         Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL dan AU, apapun namanya dapat dimaknakan bahwa Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI. Hanya saja untuk kepentingan apa kewenangan tersebut digunakan dapat kita lihat yaitu dalam fungsi TNI sebagai alat pertahanan ketika negara dalam keadaan perang dan dalam pengerahan TNI untuk tugas penegak kedaulatan dan penjaga keutuhan wilayah nasional ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana ditetapkan dengan Undang Undang dalam keadaan darurat militer. Sebaliknya hal ini dapat diartikan bahwa kewenangan Panglima Tertinggi tidak dapat digunakan untuk bidang lain di luar fungsi pertahanan negara, seperti untuk kepentingan sosial politik


         Apabila kewenangan ini digunakan dalam bidang sosial politik maka akan terjadi penyalahgunaan TNI untuk mendukung kekuasaan Presiden. Kewenangan inipun diharapkan untuk tidak digunakan untuk mencampuri manajemen internal TNI, sesuai dengan kriteria hubungan sipil-militer yang sehat. Dalam alur hubungan sipil-militer yang sehat, alasan dan tujuan penggunaan militer senantiasa merupakan keputusan politik, namun penentuan penyiapan kekuatan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut akan merupakan domain manajemen internal TNI. Harus jelas dan dipatuhi batas yang membedakan kewenangan politik dan kewenangan profesional.


         Dalam melaksanakan pengelolaan pertahanan keamanan negara, Presiden dibantu seorang Menteri untuk fungsi pembinaan kemampuan pertahanan keamanan negara dan upaya pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan keamanan negara, dan Panglima Angkatan Bersenjata dalam fungsi pembinaan dan penggunaan setiap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 









Daftar Pustaka

 

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan dan Keamanan, :http://www.harypr.com/

PSP UGM dan Yayasan TIFA, Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila, Edisi ke 1, Cetakan ke 1, Aditya Media bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila (PSP), Yogyakarta dan Yayasan TIFA Jakarta

Saksono. Ign. Gatut, 2007, Pancasila Soekarno (Ideologi Alternatif Terhadap Globalisasi dan Syariat Islam), CV Urna Cipta Media Jaya

Syarbaini, Syahrial, 2012, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor.

Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

 

 

Komentar