PANCASILA SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN ILMU

Kompetensi (Kemampuan Akhir Yang Diharapkan)

Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa dapat memahamiPancasildengan membandingkan, mempersamakan dan membedakan ilmu-ilmu yang didasari oleh Pancasila dan ilmu-ilmu yang tidak didasari nilai-nilai Pancasila.

Deskripsi

Dalam Bab ini Anda akan mempelajari  pengertian tentangmembentuk dan membangun pemahaman bahwa nilai-nilai Pancasila harus dijadikan dasar pengembangan ilmu. Ilmu dalam perspektif historis.

1.
PENDAHULUAN

Andaikan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan janji awalnya ditemukan ilmu, yaitu untuk mencerdaskan manusia, memartabatkan manusia dan mensejahterakan manusia, maka pengembangan ilmu yang didasarkan pada kaedah-kaedah keilmuannya sendiri tak perlu menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu (teknologi) dan masyarakat.

Fakta yang kita saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan tempatnya yang sentral dalam kehidupan manusia karena dengan teknologi modern yang dikembangkannya dapat memenuhi kebutuhan praktis hidup manusia. Ilmu-ilmu empiris tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat melebihi ritme pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. Ironisnya tidak diimbangi kesiapan mentalitas sebagian masyarakat, khususnya di Indonesia.

Teknologi telah merambah berbagai bidang kehidupan manusia secara ekstensif dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif, termasuk merubah pola pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris menggoyahkan eksistensi kodrati manusia sendiri (Iriyanto, 2005). Misalnya, anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang serba teknologis seperti playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat hakekat kodrat sosialnya hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara sendirian. Mereka tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi menjadi manusia individualis.Masih terdapat banyak persoalan akibat teknologi yang dapat disaksikan, meskipun secara nyata manfaat teknologi tidak dapat dipungkiri. Problematika keilmuan dalam era millenium ketiga ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan ilmu pada masa-masa sebelumnya. Karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji aspek kesejarahan dan aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi. Dari sini, problematika keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.

2.
ILMU DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno, AbadPertengahan, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer.

Masa Yunani Kuno (abad ke 6 SM  6 M) saat ilmu pengetahuan lahir, kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni, bahwa ada peranan para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada. Bagaimanapun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap, dan abadi, di balik yang bhinneka, berubah dan sementara ( T. Yacob, 1993).

Setelah timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf pra Sokrates, yaitu dengan kemampuan rasionalitasnya maka filsafat telah mencapai puncak perkembangan, seperti yang ditunjukkan oleh trio filsufbesar : Socrates, Plato dan Aristoteles. Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang.Aristoteles membagi ilmu menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (etika, politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Ilmu pengetahuan teoretik dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau kemudian disebut metafisika.

Memasuki Abad Pertengahan (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran praktis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae).

Filsuf besar yang berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas, pemikiran mereka memberi ciri khas pada filsafat Abad Pertengahan. Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini dicairkan dari antinominya dengan doktrin gerejani, filsafat menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual. Bersamaan dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah penting, seperti: Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat Aristoteles dengan membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh dunia Barat melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam karyanya The Outline of History(1951) mengatakan, “Jika orang Yunani adalah Bapak metode ilmiah, maka orang muslim adalah Bapak angkatnya”.

Muncullah Abad Modern (abad ke 18-19 M) dengandipelopori oleh gerakan Renaissance di abad ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18, melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat memasukitahap baru atau modern. Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan Aufklaerung seperti: Copernicus, Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula menguasai dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat. Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran sendiri (Koento Wibisono, 1985)

Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialismenya sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya ilmu-ilmu cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya:

1) Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki putaran benda-benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium Caelistium yang kemudiandikembangkan oleh Galileo Galilei (1564-1642) dan Johanes Kepler (1571-1630), ternyata telah menimbulkan revolusi tidak hanya di kawasan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya yang amat jauh dan mendalam.

2) Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De Humani Corporis Fabrica telah melahirkan pembaharuan persepsi dalam bidang anatomi dan biologi.

3) Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie Naturalis Principia Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif bagi mekanika klasik.

 

Perkembangan   ilmu   pengetahuan   alam   dan   ilmu sosial   dengan   gaya   semacam   itu   mencapai   bentuknya secara  definitif  melalui  kehadiran  Auguste  Comte  (1798-1857) dengan Grand Theory-nya yang digelar dalam karya utama  Cours  de  Philosophie Positive yang  mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui  tahap  teologik  dan  metafisik.  Istilah  positif diberi arti eksplisit dengan muatan filsafat, yaitu untuk menerangkan bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1997).

Metode   observasi,   eksperimentasi,   dan   komparasi yang dipelopori Francis Bacon (1651-1626) telah semakin mendorong pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Semua   itu   memberi   isyarat   bahwa   dunia   Barat   telah berhasil melakukan tinggal landas untuk mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi.

Battle cry-nya Francis Bacon yang menyerukan bahwa“knowledge is  power” bukan  sekedar  mitos,  melainkan sudah menjadi etos, telah melahirkan corak dan sikap pandang manusia yang meyakini kemampuan rasionalitasnya untuk menguasai dan meramalkan masa depan, dan dengan optimismenya menguasai, berinovasi secara kreatif untuk membuka rahasia-rahasia alam. Didukung oleh roh kebebasan Renaissance dan Aufklaerung, menjadikan masyarakat Barat sebagai masyarakat yang tiada hari tanpa temuan-temuan baru, muncul secara historis kronologis berurutan dan berdampingan sebagai alternatif.

Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-20-sekarang)     berkat teori relativitas Einsteinyang telah  merombak filsafat Newton (semula sudah mapan) di samping teori kuantumnya yang telah  mengubah  persepsi  dunia  ilmu  tentang  sifat-sifat dasar dan perilaku materi sedemikian rupa sehingga para pakar dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan berhasil mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, hasilnya seperti yang dapat dinikmati oleh manusia sekarang ini (Sutardjo,1982).

Optimisme bersamaan dengan pesimisme merupakan sikap manusia masa kini dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan spektakulernya. Di satu pihak telah meningkatkan fasilitas hidup yang berarti menambah kenikmatan. Namun di pihak lain gejala-gejala adanya malapetaka, bencana alam (catastrophe) menjadi semakin meningkat dengan akibat- akibat yang cukup fatal.

Berdasarkan   gejala   yang   dihadapi   oleh   masing- masing cabang ilmu, Auguste Comte dalam sebuah Ensiklopedi menyusun hirarki ilmu pengetahuan dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.  Di  atas  matematika  secara  berurutan  ditunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi dan fisika sosial atau sosiologi. Ia menjelaskan bahwa sampai dengan ilmu kimia, suatu tahapan positif telah dapat dicapai, sedangkan biologi dan fisika sosial masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai theologis dan metafisis.

Pemikiran Auguste Comte    tersebut hingga kini menjadi semakin aktual dan relevan untuk mendukung sikap pandang yang meyakini bahwa masyarakat industri sebagai tolok ukur bagi tercapainya modernisasi, maka harus  disiapkan  melalui  penguasaan basic  science, yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama (Koento Wibisono, 1985).

Bersamaan dengan itu logico positivisme, yaitu sebuah model epistemologi yang dalam langkah-langkah progresifnya menempuh jalan : observasi, eksperimentasi, dan komparasi, sebagaimana diterapkan dalam penelitian ilmu  alam,  mendapatkan  apresiasi  yang  berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial.

Logico positivisme merupakan  model  atau  teknik penelitian yang menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal, bermaksud  agar sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat ketepatan optimal pula. Dengan demikian keberhasilan dan kebenaran ilmiah diukur secarapositivistik. Dalam arti yang benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan. Akibatnya adalah bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan kualitatif yang justru menjadi basis eksistensi kehidupan manusia menjadi terabaikan atau terlepas dari pengamatan. Kebenaran dan kenyataan diukur serta dimanipulasikan secara positivistik kuantitatif. Keresahan dan  penderitaan  seseorang  atau  masyarakat  tidak tersentuh. Masalah obyektivitas menjadi tema-tema unggulan dalam kehidupan keseharian manusia saat ini, dengan  mengandalkan  penjelasan validitas kebenarannya secara matematis melalui angka-angka statistik. Langkah metodis semacam  ini  sering penuh dengan rekayasa dan kuantifikasi yang dipaksakan sehingga tidak menjangkau akar-akar permasalahannya

Kritik dan koreksi terhadap positivisme banyak dilancarkan, karena sifatnya yang naturalistik dan deterministik. Manusia dipandang hanya sebagaidependent variable, dan bukan sebagai independent variable. Manusia bukan lagi pelaku utama yang menentukan, tetapi obyek yang diperlakukan oleh ilmu dan teknologi.

 

Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengajukan klasifikasi, membagi  ilmu  ke  dalam  Natuurwissenchaft danGeisteswissenchaft.  Kelompok  pertama  sebagai  Science of the World menggunakan metode Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science of Geist menggunakan metode Verstehen. Kemudian  Juergen Habermas, salah seorang tokoh mazhab Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain lagi dengan the basic human interest sebagai dasar,  dengan  mengemukakan  klasifikasi  ilmu-ilmu empiris-analitis,   sosial-kritis   dan   historis-hermeneutik, yang masing-masing menggunakan metode empiris, intelektual  rasionalistik,  dan  hermeneutik  (Van  Melsen,1985).

Adanya faktor heuristik mendorong lahirnya cabang-cabang ilmu yang baru seperti : ilmu lingkungan, ilmu komputer, futurologi, sehingga berapapun jumlah pengklasifikasian pasti akan kita jumpai, seperti yang kita lihat dalam kehidupan perguruan tinggi dengan munculnya berbagai macam fakultas dan program studi yang baru.

Ilmu  pengetahuan dalam  perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia. Iptek kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga diri (prestige) dan  mitos,  yang  akan  menjamin  survival suatu   bangsa,   prasyarat   (prerequisite) untuk   mencapai kemajuan (progress) dan kedigdayaan  (power) yang dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:

1) Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja, kaedah-kaedah normatif  yang  semula  menjadi  panutan,  bergeser mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat yang berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat“sesama bus kota tidak boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-inovatif-kreatif.

2) Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional  kebangsaan.  Puncak-puncak  kebudayaan daerah mencair secara konvergen menuju  satu kesatuan pranata kebudayaan demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur  pemerintahan, sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri sebagai satu kesatuan bangsa.

3) Masa   transisi    budaya   nasional - kebangsaan    menuju budaya global - mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti hak asasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun keagamaan, kini mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan sintesis yang lebih konkrit dalam tataran operasional.

Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.

 

Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara atau pemerintahan di  manapun,  terlepas  dari  sistem  ideologi  atau  sistem sosial   yang   dimilikinya.   Dipertanyakan   apakah   hak-hak asasi dihormati, apakah demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola.

Nyatalah  bahwa  implikasi  globalisasi  menjadi semakin kompleks, karena   masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub-culture), sedang  di  lain  pihak  muncul  tindakan-tindakan yang   bersifat   melawan   terhadap   perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).

3.
BEBERAPA ASPEK PENTING DALAM ILMU PENGETAHUAN

Melalui kajian historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman tentang sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.

Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud / memanifestasikan dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai masyarakat, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok elit yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaedah-kaedah ilmiah yang menurut paradigma Merton disebutuniversalisme, komunalisme, dan  skepsisme yang  teratur  dan terarah.  Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar, kongres. Sedangkan sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan kepada masyarakat dunia.

Aspek struktural  menunjukkan bahwa ilmupengetahuan di dalamnya terdapat unsur- unsur sebagai berikut:

1)  Sasaran yang  dijadikan  obyek  untuk  diketahui(Gegenstand);

2) Obyek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Suatu  paradoks  bahwa  ilmu  pengetahuan  yang  akan terus berkembang justru muncul permasalahan - permasalahan baru yang mendorong untuk terus menerus mempertanyakannya.

3)  Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus- menerus dipertanyakan.

4) Jawaban-jawaban   yang  diperoleh   kemudian  disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento Wibisono, 1985).

 

Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat mempercayai akan kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat diketahui, diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang untuk melakukan penelitian secara kreatif dan inovatif.

Ciri khas yang terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional, antroposentris, dan cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar akademis).

Konsekuensi yang timbul adalah dampak positif dan negatif.  Positif,  dalam  arti  kemajuan  ilmu  pengetahuan telah  mendorong  kehidupan manusia ke suatu  kemajuan(progress, improvement) dengan  teknologi  yang dikembangkan dan telah menghasilkan kemudahan-kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran hidupnya secara  fisik- material.

Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah mendorong berkembangnya  arogansi  ilmiah  dengan  menjauhi  nilai-nilai agama,  etika,  yang  akibatnya  dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri.

Akhirnya  tidak  dapat dipungkiri,  ilmu  pengetahuan dan   teknologi   telah   mempunyai   kedudukan   substantif dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi merubah kebudayaan manusia secara intensif.

4.
PILAR-PILAR PENYANGGA BAGI EKSISTENSI ILMU PENGETAHUAN

Melalui  teori  relativitas  Einstein  paradigma kebenaran  ilmu  sekarang  sudah berubah dari  paradigma lama yang dibangun oleh fisika Newton yang ingin selalu membangun teori absolut dalam kebenaran ilmiah. Paradigma sekarang ilmu bukan sesuatu entitas yang abadi, bahkan ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka obyektif, rasional, metodologis, sistematis,  logis  dan  empiris.  Dalam  perkembangannya ilmu tidak mungkin lepas dari mekanisme keterbukaan terhadap koreksi. Itulah sebabnya ilmuwan dituntut mencari alternatif-alternatif pengembangannya melalui kajian, penelitian eksperimen, baik mengenai aspek ontologis epistemologis, maupun ontologis.

Karena setiap pengembangan ilmu paling tidak validitas(validity) dan reliabilitas (reliability) dapat dipertanggungjawabkan, baik berdasarkan kaedah-kaedah keilmuan (context of justification) maupun berdasarkan sistem nilai masyarakat di mana ilmu itu ditemukan/dikembangkan (context of discovery).

Kekuatan   bangunan   ilmu   terletak   pada   sejumlah pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite / saling mempersyaratkan. Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.

1)
Pilar ontologi (ontology)

 Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan(eksistensi).

a)  Aspek  kuantitas  :  Apakah  yang  ada  itu  tunggal,  dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme )

b) Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu (mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).

 

Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misalnya masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja.Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lainyang tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, makaperlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.

 

2)
Pilar epistemologi (epistemology)

Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, danstrategi.    

Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi kita :

(a) sarana  legitimasi  bagi  ilmu / menentukan  keabsahan disiplin ilmu tertentu;

        (b) memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu;

         (c) mengembangkan ketrampilan proses;

        (d) mengembangkan daya kreatif dan inovatif.

 

3) Pilar aksiologi (axiology)

Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan  atau  pengembangan  ilmu.  Pengalaman aksiologis dapat memberikan  dasar  dan  arah pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang  profesional  dan  ilmuwan  (Iriyanto  Widisuseno, 2009).

5.
PRINSIP-PRINSIP BERPIKIR ILMIAH

1) Obyektif :  Cara  memandang  masalah  apa  adanya,terlepas dari faktor-faktor subyektif (misalnya : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .

2) Rasional : Menggunakan  akal  sehat yang dapatdipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.

3) Logis Berpikir dengan    menggunakan    asas logika /runtut /  konsisten,  implikatif.  Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.

4) Metodologis : Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan  yang  khas  dalam  setiap  berpikir  dan bertindak (misalnya: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).

5) Sistematis :  Setiap cara berpikir dan bertindakmenggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dansaling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas.

6.
MASALAH NILAI DALAM IPTEK
1)
Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan persoalannya

Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi manusia dewasa ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri.Ilmu pengetahuan  tidak  lagi  satu,  kita  tidak  bisa  mengatakan inilah  satu-satunya  ilmu  pengetahuan  yang  dapat mengatasi  problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu  pengetahuan  masa  lalu  lebih  menunjukkan keekaannya daripada  kebhinekaannya. Seperti pada awal perkembangan ilmu pengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.

   Proses perkembangan ini menarik perhatian karena justru bertentangan dengan inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala didunia kita ini. Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara metodis dan sistematis manusia mencari asas-asas sebagai dasar untuk memahami hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam perkembangannya ilmu pengetahuan   berkembang   ke   arah   keserbamajemukan ilmu.

a) Mengapa timbul  spesialisasi?

Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam metode, obyek dan tujuan. Perbedaan metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan  tiap-tiap  ilmu.  Tidak  mungkin  metode  dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan metode, obyek dan tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia umum keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme-organisme yang tidak dituntut oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin maju dan mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai dasar-dasar yang sama.

Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu, namun kesatuan dasar asas-asas universal harus diingat dalam  rangka spesialisasi.Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri dan masyarakat.   Ada   kalanya ilmu itu diterapkan dapat memberi manfaat bagi manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan manusia. Spesialisasi di samping tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia untuk menguasai ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak mungkin menjadi generalis, yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan yang ada (Sutardjo, 1982).

 

b) Persoalan yang timbul  dalam  spesialisasi

Spesialisasi     mengandung  segi-segi  positif,  namun juga dapat menimbulkan segi negatif. Segi positif ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan pengembangan ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa terasing dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif  membawa  dampak  ilmuwan  tidak  mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain. Seorang spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari  rumpun  keilmuannya  atau  bahkan  dari  peta  ilmu, kemudian  menganggap  ilmunya  otonom  dan  paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak tahu lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi manusia dan ilmu-ilmu lainnya,  dan  sumbangan  apa  yang  perlu  diperoleh  dari ilmu-ilmu lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari atau dikuasai.

Bila keterasingan yang timbul akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu pengetahuan tidak sangat berbahaya. Namun bila hal  itu   terjadi   pada   manusianya,   maka akibatnya bisa mengerikan kalau manusia sampai terasing dari  sesamanya  dan  bahkan  dari  dirinya  karena terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktek-praktek ilmu spesialis kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan dunia ini, apakah dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi dan lain-lain.

Persoalan tersebut bukan berarti tidak terpecahkan,ada kemungkinan merelativisir jika ada kerjasama ilmu- ilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini tidak akan mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan memudahkan penempatan tiap-tiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia. Keharusan kerjasama ilmu sesuai dengan sifat sosial manusia  dan  segala  kegiatannya.  Kerjasama  seperti  itu akan membuat para ilmuwan memiliki cakrawala pandang yang luas dalam menganalisis dan melihat sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan sebelum mengambil keputusan akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia sendiri.

 

2. Dimensi moral  dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan

Membawa  kita  ke arah  pemikiran:  

(a) Apakah ada kaitan antara moral atau etika dengan ilmu pengetahuan?;

(b) Saat  mana  dalam  pengembangan  ilmu memerlukan pertimbangan moral/etik?

 

Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling nyata pada jaman iniadalah teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin diperkembangkan perlu ”sapa menyapa” dengan etika?Apakah ada ketegangan ilmu pengetahuan, teknologi dan moral?

Untuk  menjelaskan  permasalahan  tersebut  ada  tigatahap yang perlu ditempuh. Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan manusia. Kedua, membicarakan dimensi etis serta kriteria etis yang diambilKetiga, berusaha menyoroti beberapapertimbangan sebagai semacam usulan jalan ke luar dari permasalahan yang muncul.

   a) Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Kalau   perkembangan  ilmu   pengetahuan   sungguh-sungguh menepati janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti orang tidak akan begitu mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan manusia dari keterbelakangan  yang  dialami  sekitar  1800-1900 an dengan menyediakan ketrampilan ”know how” yang memungkinkan   manusia   dapat   mencari   nafkah   sendiri tanpa bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri (secara murni)  tidak akan mendapat kritikan tajam seperti  pada abad ini.

Namun dewasa ini menjadi nyata adanyaketerbatasan ilmu pengetahuan itu menghadapi masalah-masalah yang  menyangkut  hidup  serta  pribadi  manusia.

Misalnya, menghadapi soal transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem mati hidupnya seseorang, ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka pertimbangan nilai di luar disiplin ilmunya sendiri.

Kompleksitas   permasalahan   dalam  pengembanganilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibat- akibatnya  bagi  manusia.  Mengapa  orang  kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan dan teknologi?

 

b) Akibat  teknologi pada perilaku manusia

Akibat  teknologi pada   perilaku   manusia   muncul dalam fenomena penerapan kontrol tingkah laku(behaviour control). Behaviour control merupakan kemampuan untuk mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur (the ability to get some one to do one’s bidding). Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini mengakibatkan munculnya masalah-masalah etis seperti berikut :

(1) Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini menyebabkan kemampuan perilaku seseorang diubah dengan   operasi   dan   manipulasi  syaraf  otak  melalui ”psychosurgery’s infuse”  kimiawi,   obat   bius   tertentu.

Electrical Stimulation of the Brain (E S B) : shock listrik tertentu.

Teknologi baru dalam bidang psikologi seperti“dynamic psychoteraphy” mampu   merangsang  secara baru bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bisa diatur dan disusun. Kalau begitu kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang kemusnahan.

(2) Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman mendalam tentang kelakuan   manusia, memungkinkan adanya lubang  manipulasi,  entah  melalui  iklan  atau media lain.

(3)   Pemahaman “njlimet” tingkah laku manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga bisa mendapat untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV) untuk mengatur kelakuan manusia.

(4) Behaviour control memunculkan  masalah  etis  bilakelakuan seseorang dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subyek itu sendiri. Konflik muncul justru karena si pengatur memperbudak orang yang dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan menurut kehendak si pengontrol.

(5) Akibat   teknologi   pada   eksistensi   manusia dilontarkan  oleh  Schumacher.  Bagi  Schumacher eksistensi sejati manusia adalah bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia, ciri kodrat kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan manusia dari eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak mengalami kepuasan dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T. Yacob, 1993).

 

3. Beberapa pokok  nilai yang perlu diperhatikan dalam  pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Ada  empat  hal  pokok  agar  ilmu    pengetahuan  dan teknologi dikembangkan secara konkrit, unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.

a) Rumusan hak asasi  merupakan  sarana  hukum  untuk menjamin penghormatan terhadap manusia. Individu-individu perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan.

b)  Keadilan dalam bidang sosial,  politik,  dan  ekonomi sebagai   hal   yang   mutlak.  Perkembangan   teknologi sudah membawa akibat konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia mendesentralisasikan  monopoli  pengambilan keputusan dalam bidang politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus memberi pada setiap individu kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.

c) Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorangpun berhak menguras/ mengeksploitasi sumber-sumber alam dan manusiawi   tanpa   memperhatikan   akibat-akibatnya pada seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan benda yang lain di alam ini.

         d)   Nilai   manusia   sebagai   pribadi.   Dalam   dunia   yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai dari tempatnya sebagai salah satu instrumentsistem   administrasi kantor tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai pribadi berdasar hubungan sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup sebagai manusia dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu  dan  teknologi  mau  manusiawi,  perhatian  pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh mesin. Hal ini penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi ( T. Yacob, 1993).

7.
PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI DALAM STRATEGI PENGEMBANGAN IPTEK

Karena pengembangan ilmu dan teknologi hasilnya selalu bermuara pada kehidupan manusia maka perlu mempertimbangan   strategi   atau   cara-cara,   taktik   yang tepat, baik dan benar agar pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan memartabatkan manusia.

Dalam   mempertimbangkan  sebuah  strategi  secaraimperatif kita meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.  Pengertian  dasar  nilai  menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah pengembangan ilmu. Dalam konteks Pancasila sebagai dasar nilai mengandung dimensi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dimensi ontologis berarti ilmu pengetahuan sebagai  upaya  manusia  untuk  mencari  kebenaran  yang tidak  mengenal  titik  henti,  atau  ”an  unfinished journey”. Ilmu   tampil   dalam   fenomenanya   sebagai   masyarakat, proses dan produk. Dimensi epistemologis, nilai-nilai Pancasila   dijadikan   pisau analisis / metodeberfikir   dan tolok ukur kebenaran. Dimensi aksiologis, mengandung nilai-nilai  imperatif  dalam  mengembangkan  ilmu  adalah sila-sila   Pancasila   sebagai   satu   keutuhan.   Untuk   itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis, maka diperlukan suatu situasi kondusif   baik   struktural   maupun   kultural.  

Peran  nilai-nilai  dalam  setiap  sila  dalam  Pancasila adalah sebagai berikut :

1) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa :   melengkapi   ilmupengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila inimenempatkan  manusia dalam  alam sebagai  bagiannya dan bukan pusatnya.

2) Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab : memberiarah dan  mengendalikan  ilmu pengetahuan. Ilmudikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok, lapisan tertentu.

3)  Sila  Persatuan Indonesia :   mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidakmengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas   dalam   sub-sistem   sangat   penting   untukkelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak mengganggu integrasi.

4) Sila kerakyatan yang dipimpin oleh  hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan : mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.

5) Sila   keadilan   sosial   bagi   seluruh   rakyat  Indonesia : menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.

 

Pengembangan ilmu pengetahuan dan  teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai- nilai Pancasila.Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan  kesatuan  dari  perkembangan  ilmu  yang menjadi tuntutan peradaban manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaedah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu   hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaedah ilmu sendiri, khususnya mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak bagi kehidupan manusia yang berbudaya.

 

 

 

 

 

 

 


Komentar