| |
| MODUL - 6 |
|
|
| Kewirausahaan-II |
|
|
|
Kewirausahaan dari Perspektif Ekonomi : Peluang Usaha |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| Fakultas | Program Studi | Tatap Muka | Kode MK | Disusun Oleh |
|
|
Fikom |
Penyiaran | 06 |
A51612EL |
Yasan Endrawan, S.Pd, MM. |
|
Abstract | Kompetensi |
|
|
Pada materi ini akan dibahas mengenai peluang usaha, sumber-sumber peluang usaha dengan 3 kategori : perubahan teknologi, politik/kebijakan dan sosial/demografi. | Mahasiswa diharapkan mampu nelihat berbagai peluang usaha dengan senantiasa selalu mengikuti perubahan teknologi, politik dan sosial.
|
Kewirausahaan dari Perspektif Ekonomi : Peluang Usaha
PENDAHULUAN
Sesuai dengan pengelompokkan program pembangunan di bidang ekonomi menurut Program pembangunan nasional 2000 – 2004 ke dalam tujuh kelompok program antara lain kelompok program pertama, yaitu menanggulangi kemiskinan dan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan kelompok program kedua, yaitu mengembangkan usaha skala mikro, kecil menengah dan koperasi, maka program-program yang harus dilaksanakan dan penting untuk digarisbawahi adalah :
1. Program penciptaan iklim usaha yang kondusif
2. Program peningkatan akses kepada sumber daya produktif
3. Program pengembangan kewirausahaan dan kredit usaha kecil menengah berkeunggulan kompetitif.
Sudah bukan rahasia umum bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atau disebut juga Usaha Mikro, Kecil dan Mengengah (UMKM), sangat besar memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia. Kelompok yang semuanya merupakan para entrepreneur ini bahkan mampu bertahan pada saat kondisi bangsa mengalami krisis keuangan. Indonesia membutuhkan banyak wirausaha handal. Saat ini perbandingan jumlah wirausahawan terhadap jumlah penduduk sangat kurang, karena masih dibawah 2% padahal menurut Sosiolog David McClelland berpendapat,”Suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur (pengusaha) sedikitnya 2% dari jumlah penduduknya”.
Untuk meningkatkan presentasi tersebut, perlu partisipasi dan sinergi dari pemerintah, pendidikan, bisnis, dan masyarakat. Dengan sinergi ini diharapkan dapat menjadikan entrepreneurship sebagai gerakan nasional, sehingga pertumbuhan entrepreneur tumbuh berkembang dalam mendukung perekonomian nasional. Data BPS menunjukkan bahwa sampai akhir 2010 sebanyak 51,259 juta atau sekitar 99,99% unit usaha yang ada di Indonesia tergolong dalam kelompok UMKM. Kelompok usaha ini mampu menyerap tenaga kerja lebih kurang 89,3% dari total para pekerja
Saat ini jumlah pengangguran di Indonesia relatif cukup besar, pada tahun 2010 jumlah angkatan kerja adalah 113,74 juta yang tidak terserap adalah 9,26 juta pengangur, dan 1.198.000 diantaranya adalah sarjana yang menganggur.
Kondisi di atas, menjadi tantangan bagi para sarjana pada saat ini, ditengah-tengah terbatasnya lapangan kerja dan kesulitan mencari pekerjaan, terdapat peluang yang sangat besar untuk mengembangkan usaha, baik usaha kecil, menengah maupun besar untuk menciptakan lapangan kerja baik bagi dirinya sendiri, bagi orang lain yang memperoleh pekerjaan, maupun bagi bangsa dan negara sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi.
Ditambah lagi, menjadi wirausaha tidak hanya sekedar dapat memulai dan mendirikan suatu usaha begitu saja, melainkan dituntut mampu mengarahkan usahanya pada keadaan yang terus menguntungkan dan memperoleh keunggulan bersaing yang berkelanjutan atau terus menerus dibandingkan pesaing-pesaingnya. Maka diperlukan suatu sikap yang mampu menghadapi setiap kemungkinan yang terjadi dalam menjalankan suatu usaha dengan berpegang pada keyakinan dan kemampuan individu yang handal. Jadi wirausaha membutuhkan kemauan dan tujuan yang jelas apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya.
Pertanyaan yang muncul, adalah kemudian apakah semua wirausaha yang dimaksud dapat dilahirkan melalui program pendidikan formal yang ada? Kalau jawabannya ya, berarti merupakan keberhasilan dunia bagi pendidikan kita, tetapi kalau sebaliknya, berarti akan menjadi masalah besar yang harus dihadapi oleh berbagai lembaga pendidikan untuk mengkaji ulang dan membuat program yang mendorong terciptanya wirausaha-wirausaha muda.
Untuk itulah, mata kuliah kewirausahaan ini diajarkan pada mahasiswa Universitas Mercu Buana sebagai Mata Kuliah Ciri Universitas dan diharapkan dapat menciptakan wirausahawan-wirausahawan baru sekaligus mampu meningkatkan image UMB di tengah masyarakat.
Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah kewirausahaan ini diharapakan mempunyai gambaran yang jelas tentang kewirausahaan dan termotivasi menjadi wirausaha, mempunyai role model wirausahawan, mempunyai mental dan sikap yang kuat untuk menjadi pengusaha, berwira usaha dengan kreatif dan berinovasi, mengenali peluang dan mulai memilih wirausaha, menentukan wirausaha yang akan dilaksanakan, melakukan perencanaan bisnis dan operasionalnya, perencanaan investasi dan keuangan, merancang strategi pemasaran, prilaku/etika pengusaha (etika bisnis), dapat membuat bussines plan dengan benar
Mata kuliah ini dilengkapi dengan berbagai kisah orang sukses dalam menjalankan usaha, kiat-kiat, keterampilan-keterampian dan kemampuan-kemampuan dasar dalam penerapan, kajian kasus dan latihan-latihan yang dipandu oleh dosen
Tujuan akhir setelah mengikuti mata kuliah ini adalah mahasiswa mampu:
Kewirausahaan dari Perspektif Ekonomi : Peluang Usaha
Kewirausahaan dalam perspektif ekonomi dapat dijelaskan dari peluang usaha. Titik fokus pertama dalam kegiatan berwirausaha adalah apakah seseorang melihat peluang usaha di sekitarnya. Peluang usaha ini akan dibahas 3 hal yaitu:
1. Dua perspektif besar peluang usaha yaitu Schumpeterian (1934) dan Kiznerian (1973)
2.Tiga sumber utama peluang usaha yaitu perkembangan teknologi, perubahan kebijakan/ politik, dan perubahan sosial/ demografi.
3. Bentuk lain dari peluang usaha seperti organisasi baru, pasar baru, proses bisnis baru dll
B. Peluang Usaha
Merupakan situasi dimana orang memungkinkan menciptakan kerangka fikir baru dalam rangka menkreasi dan mengkombinasikan sumberdaya, ketika pengusaha merasa yakin terhadap keuntungan yang diperoleh (Shane, 2003). Perbedaan utama antara peluang kewirausahaan dengan situasi yang lain adalah dalam peluang usaha adalah orang mencari keuntungan yang membutuhkan suatu kerangka fikir yang baru dari pada sekedar mengoptimalkan kerangka fikir yang telah ada.
C. Peluang usaha: Schumpeterian (1934) dan Kiznerian (1973)
Schumpeter (19340 percaya bahwa informasi baru merupakan suatu yang penting dalam menjelaskan eksistensi peluang usaha. Perubahan teknologi, tekanan politik, faktor-faktor lingkungan makro dan kecenderungan sosial dalam menciptakan informasi baru yang dapat digunakan pengusaha untuk mendapatkan dan mengkombinasikan kembali sumber daya dalam bentuk yang lebih bernilai. Kizner (1973) berpendapat bahwa peluang kewiarusahaan hanya membutuhkan cara baru untuk membuat inovasi berdasarkan informasi yang telah tersedia yaitu belief mengenai cara menggunakan sumber daya yang seefisien mungkin.
Table 1. Perbedaan antara peluang Schumpeterian vs Kiznerian
Schumpeterian Kiznerian
Disequilibrating Equilibrating
Requires new information Does not requires new information
Very innovative Less innovative
Rare Common
Involves creation Limited to discovery
Berdasarkan perbedaan tersebut terlihat bahwa Kiznerian lebih mengutamakan peluang dari sesuatu yang telah mapan (cateris paribus). Informasi yang diperlukan bukan informasi yang bersifat radikal sehingga inovasi yang muncul biasa terjadi. Sangat berlainan dengan Schumpeterian, peluang terjadi dalam situasi ketidakseimbangan. Dalam situasi ini, informasi yang didapatkan banyak dan sering kali bersifat radikal. Sifat radikal ini menyebabkan inovasi jarang terjadi karena situasi yang radikal juga jarang terjadi.
D. Sumber Peluang usaha: Schumpeterian (1934)
Ada tiga kategori sumber peluang usaha yaitu:
1. perubahan teknologi
2. perubahan politik dan kebijakan
3. perubahan sosial dn demografi
ke tiga sumber ini menunjukkan perubahan dalam membuat perbedaan nilai sumber daya tertentu dan menciptakan keuntungan yang menjanjikan.
1. Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi merupakan sumber penting dalam kewirausahaan karena memungkinkan untuk mengalokasikan sumber daya dengan cara yang berbeda dan lebih potensial (Casson, 1995). Faksimili, surat, dan telepon sering digunakan sebelum ditemukannya e-mail. Email ternyata lebih produktif untuk mengirim informasi dibandingkan tipe yang lain. Penemuan internet ini memungkinkan orang membuat kombinasi sumber daya baru yang disebabkan perubahan teknologi. Blau (1978) meneliti wirausahawan mandiri di AS selama dua dekade dan menemukan bahwa perubahan teknologi meningkatkan jumlah wirausahawan mandiri.
Demikian juga dengan hasil penelitian Shane (1996) memperlihatkan bahwa jumlah organisasi dari tahun ke 1899 sampai dengan 1988 meningkat seiring dengan meningkatnya perubahan teknologi.
2. Perubahan politik dan kebijakan
Perubahan politik dan kebijakan terkadang menjadi sumber peluang kewirausahaan karena perubahan tersebut memungkinkan rekombinasi sumber daya agar lebih produktif.
Beberapa kejadian empiris mendukung argumen bahwa perubahan politik adalah peluang usaha. Delacoxroix dan Carool (1993) meneliti Koran Argentina dari tahun 1800 - 1900 da Koran Irlandia 1800 – 1925 yang menemukan bahwa ada hubungan positif antara perubahan politis dengan meningkatnya pertumbuhan perusahaan baru. Bahkan perang pun dapat menjadi peluang usaha dengan menyediakan peralatan perang. Di Indonesia dengan perubahan dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, baik ditingkat nasional, propinsi, dan kaputen/ kota memberikan ruang berwirausaha sablon, percetakan, dll.
Kebijakan juga dapat menumbuhkan minat berwirausaha. Regulasi ini penting karena menyangkut legalitas sebuah perusahaan. Studi yang dilakukan oleh Kelly & Kelly dan Amburgey (1991) menemukan bahwa pertumbuhan airline di Amerika meningkat setelah adanya paket deregulasi airline. Demikian juga di Indonesia, jika jaman orde baru hanya didominasi dengan 2 atau 3 airline, dalam era reformasi ini lebih dari 10 airline. Sebelum terkena banjir lumpur, Sidoarjo adalah kabupaten yang menerapkan layanan satu atap. Hasilnya memang mampu mendorong iklim usaha karena kemudahan wirausaha mendapatkan ijin usaha. Pengalaman sukses ini telah diadopsi oleh kabupaten yang lain seperti halnya Kota Yogyakarta dan kabupaten Sragen.
3. Perubahan demografi
Struktur demografi mempengaruhi pola usaha. Kita ambil contoh Yogyakarta. Yogyakarta selain dikenal sebagai kota pelajar dan budaya, juga dikenal sebagai daerah tujuan bagi pensiunan. Hal ini membawa dampak bagi jenis usaha yang dikembangkan di kota Yogyakarta.
E. Institusi Pendidikan
Institusi pendidikan adalah sumber peluang usaha karena sebagai pusat penelitian. Hasil hasil penelitian tersebut menjadi dasar peluang usaha. Zucker dkk (1998) meneliti tentang berdirinya perusahaan bioteknologi. Mereka menemukan bahwa jumlah ilmuwan dan universitas ternama dalam suatu daerah tersebut meningkatkan stok dan peningkatan jumlah perusahaan bioteknologi. Universitas bergengsi menghasilkan hak paten yang lebih banyak. UGM dengan Research University merupakan salah satu langkah menghasilkan penelitian-penelitian yang dapat menghasilkan paten dan dapat diterima di pasar.
F. Bahan Diskusi
Perhatikan jenis usaha yang berkembang di daerah Yogyakarta? Apa saja? Kaitkan jenis usaha tersebut dengan struktur demografi di Yogyakarta. Disarikan dari Shane, S. 2003. A General Theory of Entrepreneurship.the IndividualopportunityNexus. USA: Edward Elgar.
Kasus diambil dari Koran Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 2005
IKLIM INVESTASI YANG SUSTAINABLE
Meski tahun 2003, dua tahun yang lalu, sudah dicanangkan sebagai Tahun Investasi, namun laporan Bank Dunia menyebutkan, iklim investasi di Indonesia terus memburuk, bahkan masuk kelompok terburuk di dunia. Data menunjukkan, Indonesia berada di urutan ke 138 dari 146 negara yang disurvei terhadap foreign direct investment untuk periode 1998-2000. Dari segi investasiinvestment risks, Negara ini paling berisiko dibanding Filipina, Korea, Thailand, dan Malaysia. Ada sejumlah masalah yang disorot Bank Dunia. Misalnya, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Indonesia dinilai sudah menyandang reputasi korup sejak lama, namun sekarang semakin memburuk, yang mengakibatkan biaya tinggi dalam bisnis.
Ketika Indonesia dipimpin Soeharto, tulis laporan itu, korupsi terorganisasi. Sehingga
bisnis lebih pasti, karena cukup membayar kepada orang yang tepat. Tetapi sekarang, pungutan liar berkembang menjadi lebih acak, yang sulit diperkirakan besarnya. Sementara itu, ada berbagai keluhan dilontarkan pebisnis asing dan domestik yang melakukan ekspansi ke daerah, tetapi mengurungkan investasinya. Menurut penuturannya, ada dua masalah, yakni: persepsi masyarakat yang menganggap pelaku bisnis sebagai rich fat cat, dan regulasi di daerah lewat Perda-Perda yang berorientasi pada peningkatan PAD.
Lalu bagaimanakah upaya kita mengeliminir gejala umum desentralisasi itu untuk tidak merambah ke DIY? Sebelumnya marilah kita telusuri dulu hal-hal apa yang menjadi daya tarik bagi calon investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah. Jawabnya adalah tingkat daya saing yang dimiliki oleh daerah tersebut. Artinya, semakin tinggi tingkat daya saing suatu daerah akan menjadi lokasi pilihan penanaman modal. Selain itu, juga mempersyaratkan tingkat risiko investasi yang rendah, agar memberikan jaminan kelangsungan usaha yang berkelanjutan.
Kedua syarat utama itu berhubungan erat dengan pelayanan birokrasi, insentif pajak, harga tanah dan tingkat produktivitas tenaga kerja, ketersediaan SDM dan sumber bahan baku, serta dukungan pra sarana ekonomi. Maka dalam kaitan ini, saya mengajak kepada para Birokrat daerah untuk secara kreatif mencari dan menemukan skema insentif yang kompetitif, sekaligus untuk menaikkan rating daerah, agar calon investor berminat melakukan penanaman modal ke DIY. Garry Hammer dalam bukunya, “Competing the Future”memaparkan bahawa untuk memenangkan persaingan harus dikembangkan keunggulan kompetensi, baik yang secara alamiah dimiliki oleh suatu Negara atau daerah, maupun hasil kerja keras dan ketekunan yang konsisten dan berkesinambungan dari para Birokrat maupun Usahawannya.
Dengan keunggulan kompetensi telah membuat produk industri Jepang tidak dapat digantikan oleh produk Negara lain, yang meski harganya naik pun, tetap saja dibeli konsumen. Terbentuknya daya saing suatu daerah yang berbasis pada kompetensi harus terbuka kesempatan yang luas bagi siapa pun untuk melakukan apa pun yang konstruktif. Setelah itu diperlukan tersedianya pekerja terampil, birokrasi dan politisi profesional yang mampu melahirkan Perda-Perda yang kondusif bagi iklim bisnis dan investasi. Padahal, elite poloitik kita tampaknya cukup tinggi tingkat kompetisinya, namun tingginya tingkat kompetisi itu tidak berbanding lurus dengan tingkat kompetensi Indonesia sebagai bangsa disbanding Negara lain.
Dalam Seminar: Birokrasi Daerah dan Upaya Peningkatan Iklim Bisnis dan Investasi diEra Otonomi”beberapa waktu lalu saya menyatakan, era globalisasi telah menunjukkan situasi dunia yang serba terbuka yang dicirikan oleh adanya hubungan saling ketergantungan. Dalam konteks regional, maka interdependensi antardaerah otonom menjadi suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Interdependensi tersebut pada akhirnya bermuara pada dua kutub yang saling bertolak belakang.
Kutub pertama mengarah pada iklim kompetisi antardaerah, seperti dalam perebutan pasar untuk produk-produk unggulan, menarik investasi, perekrutan SDM, serta kompetisi dalam pengelolaan asset-assetpotensial milik daerah. Sebaliknya kutub kedua mengarah pada terbentuknya iklim kolaborasi yang memerlukan kerjasama ekonomi antar daerah otonom yang saling berbatasan. Agar dapat merespon secara positif berbagai dinamika dalam iklim ko-operatitif tersebut, yaitu paduan antara kompetisi dan kolaborasi, maka diperlukan suasana pembangunan yang kondusif.
Pertama, adanya kepastian hukum bagi para investor untuk meminimalkan risiko investasi dan berbagai ketidakpastian. Kedua, menurut kapabilitas good govemance, terutama dalam pelayanan bisnis dan investasi. Ketiga, penerapan instrument insentif, baik yang berbasis fiskal, misalnya pengembalian pungutan retribusi atau pajak daerah kepada investor, maupun non-fiskal dalam hal regulasi atau kebijakan khusus. Keempat,menyangkut kemampuan daerah yang berdekatan untuk bekerjasama dalam pengembangan ekonomi regional, sehingga secara sinergis saling menguatkan sesuai prinsip managed competition. Kelima, pembangunan prasarana dan sarana wilayah lintas batas, misalnya pelayanan transportasi yang menjamin efektivitas dan efisiensi mobilitas orang dan barang dari sentra-sentra produksi menuju outletoutlet pemasaran, selain itu juga membuka akses wilayah terisolir dan terbelakang.
DIY secara keseluruhan kini gencar membangunimage sebagai wilayah alternativeuntuk investasi yangsustainable di Indonesia, karena adanya tradisi sikapmutual trust, mutual respect dan peaceful masyarakatnya terhadap kehadiran investasi. Di samping itu, faktorkeamanan lebih merupakan jaminan yang berjangka panjang, sehingga dapat menutup“kekurangan” DIY yang tidak memiliki pelabuhan ekspor dan industrial park. Oleh sebab itu harusdiinformasikan sejak dini, bahwa peluang serta prospek investasi dan bisnis yang didorongPemerintah Daerah dengan preferensi, karena masih kompetitif, adalah jenis-jenis industr yang non-poluted, non-volumetric dan berbobot ringan, serta jasa-jasa pelayanan software yangberbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi.Sekarang tidak bisa lagi kita menawarkan sesuatu potensi yang maya sifatnya. Karenajika pada kenyataannya berbeda dengan apa yang dipromosikan, justru akan menjadi bumerangyang berefek domino bagi kita sendiri.
---oOo---
2012 | Kewirausahaan-I | Pusat Bahan Ajar dan eLearning | |
|
| Yasan Endrawan, S.Pd, MM | http://www.mercubuana.ac.id |
Komentar
Posting Komentar