Cara Menghadapi Narasumber

PERTEMUAN 5

 

 

MODUL

Teknik Reportase & Wawancara

Oleh: Rahmadya Putra Nugraha, M.Si

 

Pokok Bahasan:

Menghadapi Narasumber

Pencarian Narasumber

      Persoalan pertama dalam mencari sumber berita adalah menentukan sumber berita.  Sumber berita biasanya digambarkan dengan lingkaran konsentris seperti papan target pada perlombaan memanah, semakin ke tengah Anda dapatkan Narasumber,  semakin tinggi nilai berita Anda. 

Menentukan Narasumber juga bisa dilihat dari tabel berikut  :

Org/pihak yg melakukan sesuatu

Org/pihak yang terkena akibat

Pengamat

Pem.menaikkan harga BBM

Konsumen

Pengusaha Angkutan

Pengamat ekonomi

Pengamat Perminyakan

Pengamat masalah transportasi

Anggota DPR

Pengusaha menaikkan tarif angk.umum

Pengguna jasa angk termasuk mhs

 

Mhs demo menentang kenaikan tariff angk.umum

Pengusaha Angkutan, Pemerintah

 

Polisi mengamankan demonstrasi

mahasiswa yang demo

 

 

 

4.    Berhadapan dengan Narasumber

            Berhadapan dengan sumber berita merupakan seni yang hanya bisa        dipelajari melalui pengalaman di lapangan.  Namun ada beberapa         prinsip yang bisa dipegang seorang reporter di lapangan.  Apa itu? Bahwa seorang Reporter harus selalu berada sejajar dengan narasumbernya..  bagaimana caranya?

Ada karakter beberapa jenis Narasumber yang harus diamati dan dihadapi dengan kekhususan, antara lain   :

a.  Para pengambil keputusan

      Biasanya mereka ada di belakang meja.  bagaimana trik mewawancarai?

b.    Politisi

      Mewawancarai politisi seringkali memudahkan kerja Reporter.  Karena apa? Jangan sampai terkesan mereka “ meminjam” media kita. Bgmn menghadapi mereka?

c.    Aparat Birokrasi

      Aparat birokrasi baik sipil maupun militer, berada diantara pengambil keputusan dan politisi.

d.    Anak-anak

      Menghadapi anak-anak juga sangat sulit karena ada semacam hambatan psikologis bagi anak-anak untuk bercerita kepada orang dewasa.

 

Dibutuhkan strategi untuk menghadapi narasumber. Pertama, kenali narasumber Anda. Jika Anda tidak mengenal dengan baik siapa yang akan wawancarai, bagaimana Anda bisa berkomunikasi dengan baik. Misal, narasumber yang akan Anda temui adalah M Nazarudin. Carilah informasi siapa dia? Jabatannya di Partai Demokrat, jabatannya di Fraksi Partai Demokrat, jabatannya di DPR, selain di pemerintahan dia aktif di mana saja. LSM, organisasi kepemudaan, atau perusahaan. Cari tahu juga mengenai sifatnya. Apakah dia orang yang arogan, pemarah, sombong, atau malah asyik dan mudah untuk diajak bicara apapun. Hal ini terkadang perlu untuk diantisipasi, agar kita bisa mengukur pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber.

Kedua, perkenalkanlah diri anda kepada narasumber. Nama dan media Anda. Jelaskan secara lugas. Jika Anda berhasil mendapatkan nomor kontak M Nazarudin, hubungi dan perkenalkan diri Anda, media Anda.

Ketiga, sampaikan tujuan Anda mewawancarai dia? Apa topik wawancara Anda dan mengapa itu ditanyakan?. Jika perlu sampaikan kepada narasumber bahwa pernyataannya sangatpenting dan ditunggu pembaca.

Keempat, sampaikan kepada narasumber kerugian yang bakal dia dapatkan jika tidak mau berkomentar. Informasi akan dimenangkan pihak lawan dan merugikan dirinya.

Kelima, jika tidak bersedia, mintalah narasumber untuk memberikan satu dua pernyataan. Misal “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”.

Keenam, Jika sedari awal narasumber diketahui tidak suka dengan topik pembicaraan yang akan disampaikan. Cari tahu topik yang dia sukai, ini bisa dijadikan pintu masuk untuk isu yang ingin ditanyakan.

Ketujuh, Jika tetap tidak bisa. Tutup pembicaraan dengan sopan dan sampaikan mungkin di lain waktu bisa bekerjasama dengan baik.

Kedelapan, jika narasumber tidak mau jangan terus Anda menyerah. Masih banyak cara yang bisa Anda lakukan. Misalnya doorstop, Anda bisa mencegat narasumber di ruang-ruang publik. Saat dia ke luar rumah atau kantor. Tapi, jangan sekali-sekali memasuki ruang privat dan tetap jagalah kesopanan saat mencegat narasumber.

Kesembilan, jika narasumber adalah seorang pembicara. Jurnalis juga menyamar sebagai peserta dg membayar yg memiliki hak untuk bertanya.

Kesepuluh, jika narasumber utama tidak berhasil Anda dapatkan. Cari dan gunakanlah narasumber sekunder untuk menopang data dan informasi yang hendak Anda klarifikasi. Biasanya, narasumber sekunder ini termasuk keluarga, kerabat, rekan kerja, dan lain-lain. Akan tetapi, narasumber sekunder terkadang cukup kuat dalam memberikan informasi, tapi terkadang dia juga lemah. Tergantung kedekatan dan sejauh mana narasumber sekunder mengetahui dan mengenal narasumber primer (utama).

kesebelas, jika narasumber bersedia menemui Anda berpakaianlah yang sopan. Mungkin berpakaian sopan adalah salah satu elemen penting untuk menghargai narasumber. Bagaimana mungkin, anda dapat dihargai narasumber jika Anda tidak menghargainya dengan tidak berpakaian sopan.

Kedua belas, bertanyalah yang sopan hindari menghakimi narasumber. Sekalipun narasumber kita adalah orang yang diduga kuat tersangka dalam sebuah kasus. Tapi hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi. Karena pertama, anda bukanlah hakim yg memutuskan mana yg benar dan mana yang salah. Seorang jurnalis harus mengedepankan asas praduga tidak bersalah.

Ketiga belas, gunakanlah sedikit guyonan agar wawancara tidak berlangsung kaku. Biasanya wawancara yg berlangsung cair, bakal mengeluarkan informasi-informasi yang lebih banyak.

Keempat belas, jangan suka memotong pembicaraan. Memotong pembicaraan orang adalah hal yg tidak baik, karena anda tidak tengah melakukan talkshow yang waktunya sempit. Biarkanlah narasumber berbicara banyak. Jika memang dirasa terlalu melebar, cobalah kembalikan alur pembicaraan dengan sopan.

Kelima belas, pilih tempat yang netral. Jika Anda berhasil membujuk narasumber untuk bertemu dalam sebuah wawancara, jika materi yang akan ditanyakan sangat sensitif pilihlah tempat yang netral dan terbuka. Misalnya café di mall atau tempat terbuka lainnya. Hal ini dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, jika narasumber tidak senang dan marah terhadap materi yang ditanyakan.

Dalam setiap kasus tentu saja berbeda penanganannya. Dalam hal ini bergantung pada kreativitas seorang jurnalis untuk membuat strategi agar narasumber mau kita temui dan juga berbicara banyak sebagaimana yang diinginkan.

Yang pasti ada beberapa sikap yang harus dimiliki seorang jurnalis dalam melakukan tugas peliputan. Pertama, jadikan profesi jurnalis sebagai panggilan hati. Banyak orang yang menjadikan profesi jurnalis hanya sebagai jembatan untuk meraih profesi tertentu. Misalnya, agar dekat dengan partai tertentu dan menjadi calon anggota DPR dari partai tersebut.

Kedua, jadilah pemberani. Seorang jurnalis sebenarnya juga sosok yang religius. Apapun agama Anda, pasti percaya bahwa yang maha kuat adalah Tuhan. Jika Anda memegang teguh seperti ini, maka siapapun, setinggi apapun posisinya, segarang apapun orangnya. Anda pasti memiliki keberanian melakukan wawancara.

Ketiga, bulatkan tekad. Seorang jurnalis harus memiliki tekad yang bulat. Jadi, tak ada cerita bahwa tak ada tugas yang tidak terselesaikan. Karena si jurnalis terus melakukan upaya dengan berbagai macam cara untuk menuntaskan misi yang diembannya. Semisal, jika tidak ada kebulatan tekad. Si jurnalis pasti tidak akan mau jika diminta korlipnya untuk menongkrongi rumah M Nazarudin atau sebuah tempat yang diduga persembunyian Nazarudin.

Keempat, bersikap santunlah. Jurnalis bukanlah segerombolan preman yang garang dan menakutkan. Jangan mentang-mentang wartawan, Anda bisa bertindak seenaknya terhadap narasumber. Anda juga harus bisa menunjukkan bahwa seorang jurnalis adalah sosok yang santun dan menjaga etika dalam menjalankan tugasnya.

Kelima, bersabarlah. Seorang jurnalis harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Apalagi saat dituntut menunggu narasumber yang memiliki kesibukan yang seabreg atau pemeriksaan yang berlangsung lama.

 

Wawancara Narasumber

Ketika melakukan wawancara, mana yang lebih Anda pilih dari ketiga hal ini? Pertama, memposisikan narasumber sebagai orang yang wawasannya jauh di atas kita, sehingga kita selalu terdiam saat dirinya memberikan ulasan apa saja atas pertanyaan yang kita ajukan. Sepanjang apa pun jawabannya, sebelum dirinya menyelesaikan ulasannya, kita tak berani menyela untuk memberikan pertanyaan lanjutan. Karena menganggap jawabannya selalu benar, maka kita sama sekali tak berani ”menyangsikan” jawaban tersebut dan apalagi memberikan sanggahan.

Kedua, memposisikan narasumber sebagai orang yang benar-benar faham pada bidang tertentu dan tak memahami bidang lainnya, sehingga kita selalu mengarahkannya dengan pertanyaan agar dirinya menjawab sesuai bidang yang dikuasainya dan tak ngelantur kemana-mana. Karena menganggapnya hanya mengetahui satu bidang tertentu, kita selalu menstopnya dengan pertanyaan lain saat dirinya mencoba memberikan jawaban dengan keluar dari bidang yang dikuasainya.

Ketiga, kita memposisikan narasumber sebagai teman dialog atas permasalahan yang tengah kita perbincangkan, sehingga kita sering menyela pada saat dirinya tengah asyik-asyiknya mengungkapkan pandangannya. Karena kita merasa menguasai masalah yang diulasnya, maka kita pun tak segan-segan juga memberikan ulasan yang seimbang. Bahkan waktu kita berbicara sama panjangnya dengan waktu yang kita berikan kepada narasumber.

Sebaiknya, kita tak lekas sertamerta menentukan satu di antara ketiga hal tersebut. Karena kalau kita terlanjur menentukannya dan kita jadikan sebagai style kita, di lapangan akan banyak sekali mengalami hambatan-hambatan. Dengan membiarkan narasumber menjawab apa saja atas pertanyaan yang kita ajukan, akan membuat data yang kita dapatkan terlalu bertele-tele dan memakan banyak waktu. Demikian pula saat kita terlalu mengarahkan narasumber melalui pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan, data yang kita dapatkan akan tampak terlalu formal, kering improvisasi, tak memunculkan ide-ide yang sifatnya intuitif, tak kaya ulasan-ulasan inovatif yang agak ”imajinatif”, serta tentu saja terlampau baku dan kaku.

Begitu pun kalau kita memposisikan narasumber sebagai teman dialog. Model ini juga beresiko narasumber akan kurang leluasa dalam mengungkapkan keluasan wawasannya. Sebab dirinya akan merasa, bahwa orang yang tengah diajaknya ngobrol adalah orang yang juga ”setara” dengan dirinya, sehingga ada rasa kehati-hatian dalam mengungkapkan pandangannya. Lebih fatal lagi, jika kita terlampau menampakkan ”kepintaran” kita – misalnya dengan ”benar-benar” memberikan sanggahan yang sangat argumentatif.

Agar wawancara yang kita lakukan lebih efektif, maka kita harus memahami terlebih dahulu siapa narasumber tersebut. Apakah dirinya termasuk orang yang suka bersikap formal, sangat serius, terfokus pada persoalan dan tak suka basa-basi. Atau mungkin pula narasumber yang kita wawancarai, adalah orang sangat hangat diajak bicara, terkesan sok akrab, senang bicara sedikit ngelantur, bahkan paling gemar tertawa sampai terbahak-bahak.  Atau bisa jadi narasumber kita adalah orang yang agak sedikit humoris tapi sangat brilian ide-idenya, pilihan kata-katanya sangat fasih, mungkin agak kurang sistematis cara menguraikannya, tak suka ngomong berpanjang-panjang, serta terkesan sangat hemat pada waktu.

Dengan mengetahui sedikit perwatakan narasumber tersebut, kita akan bisa meletakkan ketiga pilihan di atas secara cermat. Tak harus memilih salah satunya, melainkan bisa meramunya sebagai adonan secara enak. Seorang narasumber yang formal dan sangat terfokus pembicaraannya, bukan berarti kita harus menghadapinya dengan cara formal dan terpusat lurus pada tema pembicaraan. Sebab hal itu akan membuat arus wawancara menjadi tegang dan kaku. Kita bisa saja menyelipkan humor sejenak yang bisa membuatnya tersenyum, sehingga jawaban yang diberikannya akan lebih cair dan menjadi agak lentur.

Begitupun dengan narasumber yang senang ngomong berpanjang-panjang dan suka ngelantur, bisa saja kita memberikan ”sanggahan” dengan irama yang sangat serius. Dengan begitu diharapkan agar dirinya lebih terfokus pada permasalahan yang sebenarnya tengah diperbincangkan. Tak usah segan-segan menyetop di tengah-tengah pembicaraan, kalau memang hal itu kita rasa terlampau menyimpang jauh dari fokus pembicaraan.

Untuk narasumber yang irit kata-kata dan sangat hemat waktu, cobalah jejali dengan pertanyaan-pertanyaan yang kita perkirakan akan membutuhkan jawaban yang tak singkat. Tak usah sungkan-sungkan melakukan ”sanggahan”, dengan catatan jika hal itu dapat menarik narasumber sehingga melakukan tanggapan balik. Tetapi ingat, jangan sampai kita mengajukan pertanyaan yang sifatnya basa-basi. Sebab narasumber semacam ini, akan sangat tidak menyukai pertanyaan semacam itu. Lebih baik carilah lontaran-lontaran ringan, yang itu justru dapat membuat dirinya agak ”terpojok”. Dengan begitu dirinya akan pula mencari lontaran sebagai sanggahan atas pancingan kita.

Tapi apa pun yang kita lakukan, tujuannya adalah satu; menggali data yang akurat, aktual, mendalam, informasi tersebut dibutuhkan banyak orang, bersifat inovatif dan sangat menarik buat pembaca. Untuk itulah, sebelum melakukan wawancara, biasakan membikin draft pertanyaan terlebih dahulu. Di samping hal tersebut berfungsi sebagai pemandu, juga seringkali sangat membantu kita pada saat terjadi ”kemacetan” dari lalulintas perbincangan kita dengan narasumber.

Yang lebih penting lagi, saat melakukan wawancara, jangan sekali-kali melakukan sesuatu yang ”tak disukai” oleh narasumber. Usahakan dalam seluruh waktu wawancara, narasumber kita tampak selalu menyukai perbincangan tersebut. Jika data utama yang kita gali telah terpenuhi dan kita gagal membuat narasumber menjadi betah atas perbincangan itu – sehingga kelihatan agak ”resah”, sudahi saja wawancara tersebut (Ingat! Masih banyak kesibukan lain yang harus dikerjakan oleh narasumber).

Dari seluruh persoalan seputar wawancara di atas, yang paling sulit adalah ketika menghadapi narasumber yang menolak untuk diwawancarai. Jika kita ketepatan mengalami hal tersebut, jangan sekali-kali kita langsung mengiyakannya. Berusahalah sekuat mungkin agar dirinya mau memberikan waktu wawancara. Selama narasumber tak menampakkan sikap ”amarah”nya atau bahasa kasarnya ”belum diusir”, selalulah berusaha untuk diberikan waktu wawancara – minimal dijanjikan pada waktu yang lain.

Jika penolakannya karena tema yang tak disukainya, segera alihkan pada tema yang bisa memancingnya untuk memberikan ulasan. Di tengah-tengah perbincangan itulah, kita bisa nyerempet-nyerempet ke tema semula – yang sebenarnya memang tengah kita butuhkan. Apabila persoalannya adalah karena memang dirinya sangat tidak suka terpublikasikan, katakan bahwa yang kita butuhkan adalah informasi seputar masalah tersebut dan bukan terfokus pada pempublikasian figur dirinya.

Kalaupun alasannya karena sempitnya waktu dan banyaknya acara, katakan bahwa kita cuma membutuhkan waktu yang tak panjang. Kita bisa langsung menawarkan waktu tersebut. Misalnya kami hanya memerlukan waktu setengah jam saja. Jika pun itu masih tak diberikan, mintalah waktu seperempat jam. Jika hal itu pun masih saja dianggapnya kepanjangan, mintalah waktu sepuluh menit. Jika pun masih ditolaknya, mintalah waktu wawancara di hari yang lain. Kalau pun masih tak ada jadwal juga untuk kita, mintalah wawancara via telpon saat dirinya berada di tengah perjalanan menuju ke acara lain.

Saat kita diperbolehkan mewawancarai narasumber dalam waktu yang singkat sekali, usahakan langsung memberikan pertanyaan yang sangat menarik bagi dirinya. Sebab kalau itu berhasil, biasanya narasumber lupa terhadap waktu yang diberikan kepada kita. Sepuluh menit yang diberikannya bisa menjadi dua kali lipat, setengah jam yang diberikannya bisa molor sampai berjam-jam. Sebagai catatan: dalam waktu wawancara yang sempit, jangan pernah menanyakan sesuatu yang sebenarnya bisa kita dapatkan dengan cara lain – misalnya dari referensi, observasi atau riset.

Intinya, ketika kita telah merancang sebuah tulisan dan membutuhkan data informasi yang harus digali melalui wawancara, jangan pernah mau berhenti apa pun yang menjadi hambatan di depan. Tuangkan seluruh kreativitas dan skill kecakapan kita untuk menembus rintangan dan hambatan tersebut. Selama narasumber yang akan kita wawancarai masih bernama manusia, pasi tersedia jalan untuk menuju ke arah sana.

 

 

Rahmadya Putra N., M.Si |

 

Komentar

Posting Komentar