Faktor-Faktor yang Memengaruhi Reaksi Khalayak pada Komunikasi Massa

 

 

MODUL PERKULIAHAN

 

 

 

PSIKOLOGI KOMUNIKASI

 

 

SISTEM KOMUNIKASIMASSA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Fakultas

Program Studi

Tatap Muka

Kode MK

Disusun Oleh

 

 

Ilmu Komunikasi

Public Relations

10

MK85006

Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom.

 

 

 

Abstract

Kompetensi

 

 

Pokok bahasan dalam Proses KomunikasiMassaFaktor-Faktor     Yang Mempengaruhi Khalayak Pada Komunikasi Massa Effek Komunikasi Massa.

 

 

 

Mampu memahami dan menjelaskan komunikasi massa dan perubahan sikap dan perilaku

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Reaksi Khalayak pada Komunikasi Massa

Untuk mengetahui sejauhmana khalayak dapat terpengaruh oleh media, serta factor-faktor apa yang dapat mempengaruhi reaksi khalayak, kita akan bahas sesaat lagi. Banyak argumentasi yang mengupas berbagai perbedaan pandangan terkait reaksi khalayak terhadap media massa. Misalnya saja model hypodermis yang menunjukan kekuatan media massa dalam mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak. Tetapi muncul juga pendapat lain yang berbeda, dimana tertuang dalam model uses and gratification. Model ini memandang bahwa media memang berpengaruh, tetapi pengaruh ini disaring diseleksi, bahkan mungkin ditolak sesuai dengan factor-faktor personal yang memengaruhi reaksi mereka. Untuk melihat perbedaannya, berikut penjelasannya:

Teori DeFleur dan Bali Rokeach tentang Pertemuan dengan Media

DeFleur dan Ball Rokeach melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan tiga kerangka teoretis:

Perspektif perbedaan individual. Memandang manusia sebagai makluk individual yang memiliki kepribadian tidak sama dengan individu yang lain. Setiap pola pikir, pola merasa, dan pola perilakunya sangat khas. Setiap orang mempunyai potensi biologis, pengalaman belajar, dan lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh media massa yang berbeda pula.

Perspektif kategori sosial. Memandang dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial, yang reaksinya pada stimulus tertentu cenderung sama. Golongan sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, tempat tinggal, dan keyakinan agama menampilkan kategori respons. Anggota-anggota kategori tertentu akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respons kepadanya dengan cara yang hampir sama pula. Anak-anak akan membaca Ananda, Sahabat atau Bobo. Ibu-ibu akan membaca Femina, Kartini atau Sarinah.

Perspektif hubungan social. menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam memengaruhi reaksi orang terhadap media massa.Perspektif ini tampak pada model ‘two step flow of communication’. Dalam model ini, informasi bergerak melewati dua tahap. Pertama, informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa. Kedua, informasi bergerak dari orang-orang itu disebut “opinion leader” dan kemudian melalui saluran-saluran interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi. Mereka yang terakhir ini disebut mass audience.

Pendekatan Motivasi dan Uses and Gratification

Esensi teori ini menjelaskan bahwa khalayak, pendengar dan pembaca memilih dan menggunakan opsi berbagai media dan program untuk kepuasan mereka. Asumsi dasar dari teori ini yaitu (a). Khalayak dianggap aktif, (b). Dalam proses komunikasi, inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada khalayak, (c). Media massa  harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhan khalayak, (d). Tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak, (e). Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum terlebih dahulu meneliti orientasi khalayak.

a.
Motif kognitif dan gratifikasi media

Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pmeliharaan keseimbangan, McGuire menyebut empat teori:

Teori konsistensi memandang manusia sebagai makhluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik itu mungkin terjadi diantara beberapa kepercayaan yang dimiliknya (seperti antara “merokok itu merusak kesehatan” dan merokok itu membantu proses berfikir”)Dalam hubungan ini, komunikasi massa mempunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangan kestabilan psikologi individu. Akan tetapi, pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsistensi. Media masa juga menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi atau pemecahan persoalan yang efektif.

Teori atribusi. Memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinnya. Komunikasi massa memberikan falidasi atau pembenaran pada teori kita dengan penyajian realita yang disimplifikasikan, dan didasarkan strereotrip. Misalna orang-rang lesbian atau homoseks yakin perilkunnya bukanlah penyimpang karna membaca buku dan majalah yang mendukungnya.

Teori kategorisasi. Memandang manusia selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannyaManusia memperoleh kepuasan apa bila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinnya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinnya. Pandangan ini menunjukkan bahwa isi-isi komunikasi massa, yang disususun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori yang ada. Bermacam-macam upacara, pokok dan tokoh, dan kejadian-kejadian biasannya ditampilkan dengan sesuai dengan kategori yang sudah diterima. Ilmuan yang berhasil karna kesungguhannya, pengusaha yang sukses karna bekerja keras.

Teori objektifikasi memandang manusia sebagai makhluk yang pasif,yang tidak berpikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep-konsep tertentu. Teori ini menyatakan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampakTeori ini menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negatif pada faktor-faktor eksternal, atau memerikan kriteria pembanding yang ekstrim untuk perilakunnya yang kurang baik. Misalnya seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia, menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan orang lain.

Teori otonomiMemandang manusia sebagai makhluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinnya sendiri mencapai idenitas kepribadian yang otonom. Kemudian media massa tampaknya sedikit sekali memuaskan kebutuhan humanistik ini. Acara televisi atau surat kabar tidak banyak membantu khalayak untuk menjadi orang yang mampu untuk mengendalikan nasibnya.

Teori stimulasi Memandang manusia sebagai mahluk yang lapar stimuli, yang senantiasa mencari pengalaman yang baru, dan selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya.  Komunikasi massa selalu menyajikan hal-hal baru yang aneh, yang spektakuler, yang menjangkau pengalaman-pengalaman yang tidak terdapat pada pengalaman individu sehari-hari. Media massa menyajikan pengalaman buatan (vicarious experience).

Teori teleologis memandang manusia sebagai makhlukyang berusaha mencocokan presepsinyaa tentang situasi sekarang dengan representasi internal dari kondisi yang dihendaki. Teori ini menggunakan computer sebagai analogi otak. Dalam kerangka teori ini media massa merupakan sumber pemuasan kebutuhan yang subur. Isi media massa sering memperkokoh moralitas konfensional dan menunjukan bahwa orang yang berpegang teguh kepadanya memperoleh ganjaran dalam hidupnya. Selain itu cerita cerita mengisahkan tokoh tokoh yang menyimpang, tetapi kemudian berhasil dalam hidupnya memberikan konfirmasi pada orang orang yang sekarang berprilaku tidak konfensional.

Teori utilitarian Memandang individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna untuk keterampilan baru yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup. Komunikasi massa dapat memberikan informasi, pegetahuan dan keterampilan seperti – walaupun tidak sama- apa yang dapat diberikan oleh lembaga pendidikaan. Berbaagai penelitian membuktikan bahwa banyak orang yang memperoleh informasi dari media massa. Ibu-ibu rumah tangga mungkin memperoleh keterampilan memasak dari resep-resep yang terdapat dalam majalah wanita.

b.
Motif Afektif dan Gratifikasi Media

Teori reduksi tegangan memandang manusia sebagai system tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurangan tegangan. Tegangan emosional karna marah dapat berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu. Menurut teori ini, komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan peristiwa atau adegan kekerasan. Teori ini mengatakan, seorang penjahat mungkin tidak jadi melepaskan dendamnya kepada orang lain setelah puas menyaksikan pembunuhan besar-besaran dalam film yang ditontonnya.

Teori ekspesif menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya, dalam arti menampakkan perasaan dan keyakinannya. Komunikasi massa, dalam hal ini media massamempermudah orang untuk berfantasi, melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaaannya. Media massa bukan saja hanya membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspresi diri: misalnya teka-teki silang, kontes, novel misterius, acara kuiz televisi.

Teori ego-defensif beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri tertentu dan berusaha untuk mempertahankan citra diri iniDari media massa kita meperoleh informasi untuk membangun konsep diri kita, pandangan diri kita, dan pandangan kita tentang sifat sifat masusia dan hubungan sosial. Bila kita telah merumuskan konsep-konsep tersebut, komunikasi massa membantu memperkokoh konsep tersebut. Pada saat cita diri mengalami kerusakan, media massa dapat mengalihkan perhatian kita dari kecemasan kita. Dengan demikian komunikasi massa memberikan bantuan dalam melakukan teknik teknik pertahanan ego.

Teori peneguhan memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya pada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada masa lalu. Teori ini beranggapan bahwa orang menggunakan media massa karena mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya. Disamping isi media yang menarik, peristiwa menggunakan media sering diasosiasikan dengan suasana menyenangkan; misalnya menonton televisi dilakukan di tengah-tengah keluarga dan membaca buku dikerjakan ditempat sepi dan tenang, jauh dari gangguan.

Teori penonjolan (assertion) memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaaan dari dirinya dan orang lain. Manusia ingin menyampai prestasi, sukses, dan kehormatan. Masyarakat dipandang sebagai suatu perjuangan di mana setiap orang ingin menonjol dari yang lain. Orang menggunakan media massa karna mendapat ganjaran yaitu memperoleh informasi, hiburan, dapat berhubungan dengan orang lain dan sebagainya.

Teori afiliasi (affiliation) memandang manusia sebagai makhluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain. Dalam hubungannya dengan gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam mengubungkan individu dengan individu lain. Laswell menyebutnya fungsi “correlation”. Asumsi pokok Katz, Gurevitz, dan Hass adalah pandangan bahwa komunikasi massa digunakan individu untuk menghubungkan dirinya – melalui hubungan instrumental, afektif, dan integrative – dengan orang-orang lain (diri, keluarga, kawan, bangsa, dan sebagainya). Isi media menegaskan kembali fungsi khalayak sebagai peserta dalam drama kemanusiaan yang lebih luas. Tidak jarang isi media massa juga dipergunakan orang sebagai bahan percakapan dalam membina interaksi sosial.

Teori identifikasi melihat manusia sebagai pemamin peranan yang berusah memuaskan egonya yang sekaligusmembangun konsep dirinyaDalam hubungannya dengan komunikasi massa, media massa yang menyajikan cerita fiktif dan faktual, mendorong orang-orang untuk memajukan peranan yang diakui dan berdasarkan gaya tertentu.

Teori peniruan (modeling theories) teori ini hampir sama dengan teori identifikasi, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan kemampuasn efektifnya. Tetapi, berbeda dengan teori identifikasi, teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi. Disini, individu dipandang secara otomatis cenderung ber empati dengan perasaan orang-orang yng diamatinya dan meniru perilakunya. Dalam konteks komunikasi massa, media massa menampilkan berbagai model untuk ditiru oleh khalayaknya. Melalui televisi, orang meniru perilaku idola mereka.

Efek Komunikasi Massa

Efek Kehadiran Media Massa

Steven H. Chaffee menyebut lima efek dari media massa yaitu: (1) efek ekonomis, (2) efek sosial, (3) efek pada penjadwalan kegiatan, (4) efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu, dan (5) efek pada perasaan orang terhadap media.

Efek ekonomis Kita mengakui bahwa kehadiran media massa menggerakkan berbagai usaha-produksi, distribusi, dan konsumsi “jasa” media massa. Kehadiran surat kabar berarti menghidupkan pabrik yang mensuplai kertas koran, menyuburkan pengusaha percetakan dan grafika, memberi pekerjaan pada wartawan, ahli rancang grafis, pengedar, pengecer, pencari iklan, dan sebagainya. Kehadiran televisi-di samping menyedot energi listrik-dapat memberi nafkah para juru kamera, juru rias, pengarah acara, dan belasan profesi lainnya.

Efek sosial Kehadiran televisi meningkatkan status sosial pemiliknya. Di pedesaan, televisi telah membentuk jaringan-jaringan interaksi sosial yang baru. Pemilik televisi sekarang menjadi pusat jaringan sosial, yang menghimpun disekitarnya tetangga dan penduduk desa seideologi. Televisi telah menjadi sarana untuk menciptakan hubunganpatronclient yang baruEfek sosial tampaknya lebih relevan dibicarakan oleh ahli sosiologi ketimbang ahli psikologi.

Efek penjadwalan. Hasil penelitian menunjukan bahwa media mempengaruhi efek penjadwalan dalam kegiatan sehari-hari. Sebelum ada televisi, orang biasanya pergi tidur malam sekitar pukul 8 dan bangun pagi sekali karena harus berangkat kerja di tempat yang jauh. Sesudah ada televisi, banyak di antara mereka, terutama muda mudi yang sering menonton televisi sampai malam, telah mengubah kebiasaan rutin mereka. Demikianlah pula, kebanyakan mereka tidak dapat bekerja seperti dulu ketika televisi belum masuk (10 sampai 11 jam sehari). Mereka cenderung berangkat ke ladang mereka lebih siang dan pulang lebih cepat “Televisi telah mengubah kegiatan penduduk desa.

Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman. Orang menggunakan media untuk memuaskan kebutuhan psikologinya dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman, misalnya untuk menghilangkan perasaan kesepian, marah, kesal, kecewa, dan sebagainya.

Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu. Kehadiran mediamassa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada diri seseorang, tetapi juga dapat menumbuhkan perasaan tertentu. Terkadang, seseorang akan mempunyai perasaan positif atau negatif terhadap media tertentu. Misalnya kita lebih menyukai surat kabar x daripada surat kabat y. Tumbuhnya perasaan senang atau percaya pada media massa tertentu mungkin erat kaitannya dengan pengalaman individu bersama media massa tersebut; boleh jadi faktor isi pesan mula-mula amat berpengaruh.

Efek Kognitif Komunikasi Massa

Citra adalah peta Anda tentang dunia. Tanpa citra Anda akan selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita.

Pembentukan dan Perubahan Citra

Seperti telah dijelaskan di muka, citra terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi. Buat khalayak, informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra. Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa, kita memeroleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Dunia ini terlalu luas untuk kita memasuki semuanya. Media massa datang menyampaikan informasi tengang lingkungan sosial dan politik; televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indera kita

Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi –realitas tangan-kedua (second hand reality). Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan menyampingkan tokoh yang lain. Surat kabar –melalui proses yang disebut gatekeeping- menepis berbagai berita dan memuat berita tentang “darah dan dada” (blood and breast) daripada tentang contoh dan teladan. Payahnya, karena kita tidak dapat –dan tidak sempat- mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media, kita cenderung memeroleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.

Jadi, akhirnya, kita membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Karena televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman, dan lebih mengerikan.

Klapper menyatakan bahwa media bukan saja media mempertahankan citra khalayak; media lebih cenderung menyongkong status quo ketimbang perubahan. Informasi dipilih yang sedapat mungkin tidak terlalu menggoncangkan status quo. Roberts menganggap kecenderungan ini timbul karena tiga hal: (1) reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai dengan citranya tentang realitas –kepercayaan, nilai, dan norma. Karena citra itu disesuaikan dengan norma yang ada, maka ia cenderung tidak melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk memersepsi dunia; (2) wartawan selalu memberikan respons pada tekanan halus yang merupakan kebijaksanaan pemimpin media; dan (3) media massa sendiri cenderung menghindari hal-hal yang kontroversial, karena khawatir hal-hal tersebut akan menurunkan volume khalayaknya. Audience share (andil khalayak) dikhawatirkan direbut oleh media saingan. Dengan begitu, yang paling aman ialah menampilkan dunia sedapat mungkin seperti yang diharapkan oleh kebanyakan khalayak.

Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi, kerena pada masyarakat modern orang memeroleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Pada saat yang sama, mereka sukar mengecek kebenaran yang disajikan media.

Agenda Setting

Teori agenda setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita , artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, gatekeepers seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentuksn mana yang pantas dibertakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televise dan radio) dan cara penonjolan (ruang dalam surat kabar,waktu pada televisi, frekuensi pemuatan, posisi pada surat kabar). Bila Euis Darliah dimunculkan terus-menerus, disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit dalam televise, dan disajikan pada surat kabar dengan mengisi hamper setengah halaman makan, itu berarti Euis Darliah sedang ditonjolkan sebagai biduanita besar. Jika pada saat yang sama peristiwa terbunuhnya 15 orang rakyat kecil dimuat dalam kolom kecil disudut bawah halam 12, atau tidak disiarkan radio, apalagi diberitakan televise, peristiwa itu disepelekan media. Bagaimana media massa menyajikan peristiwa, itulah yang disebut sebagai agenda media.

Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada –anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (community salience). Bila media massa terbukti mampu membentuk citra orang tentang lingkungan dengan menyampaikan informasi, kita juga dapat menduga media massa tertentu berperan juga dalam menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang baik. Ini kita bicarakan dalam bagian berikutnya.

Efek Prososial Kognitif

Bila televise, radio, dan surat kabar menyampaikan informasi atau nilai-nilai yang berguna, apakah khalayaknya akan memeroleh manfaat? Disini kita membicarakan bagaiman media massa memberikan manfaat yang dikehendaki oleh masyarakat. Inilah yang kita sebut efek proposial. Bila televisi menyebabkan anda lebih mengerti tentang bahasa indonesai yang baik dan benar, televise telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati anda tergerak untuk menolong mereka, media masssa telah menghasilakn efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, mengjimbau anda untuk menyumbang, lalu anda mengirimkan wesel pos kesurat kabar tersebut, maka terjadilah efek prososial behavioral. Dalam bagian ini, kita hanya akan mengulas efek prososial kognitif.

Untuk itu ambilah contoh film televisi sesame street di Amerika Serikat. Film ini ditampilkan pertama kali pada tahun 1969. Dalam bahasa aslinya, film ini telah disiarkan di lebih dari 40 negara diluar Amerika Serikat. Saduran kedalam bahasa inggris telah disiarkan di 19 negara. Film ini dibaut dalam rangka mempersiapkan anak-anak prasekolah untuk mengembangkan keterampilan dalam : (1) proses simbolik, seperti mengenal huruf,angka, bentuk-bentuk geometris; (2) organisai kognitif, seperti diskriminasi preseptual, memahami hubungan di antara objek dan peristiwa,mengklasifikasi, memilih,dan menyusun; (3) berpikir dan memecahkan masalah; (4) berhubungan dengan dunia fisik dan sosial (Tan,1981:244)

Film sesame street dirancang oleh pendidik, psikolog, dan ahli-ahli media massa. Setelah diteliti secara mendalam,baik melalui penelitian lapangan maupun penelitian eksperimental, terbukti sesame street berhasil mempermudah proses belajar. Digabungkan dengan sdoroganorang dewasa, efek prososial kognitif ini makin kentara. Siaranpendidikan televise – tentu saja menggabungkan unsure hiburan dengan informasi, dan bukan hanya ceramah yang membosankan – telah berhasil menanamkan pengetahuan, pengertian, dan keterampilan.

Efek Afektif Komunikasi Massa

Pembentukan dan perubahan sikap

Pada tahun 1960,Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian yang komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkam pada lima prinsip umum:

1.
Pengaruh komunikasi massa diantaranya oleh factor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok.
2.
Karena factor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkooh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadnag berfungsi sebagai media pengubah (agent of charger);
3.
Bila komunikasi menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada perubahan seluruh sikap (konversi) dari satu segi ke segi yang lain.
4.
Komunikasi massa cukup afektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang dimana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan konversial.
5.
Komunikasi massa cukup efektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada prediaposisi yang harus diperteguh.

Mengapa para peneliti tidak berhasil menemukan perubahan sikap yang berarti sebagai pengaruh media massa dapat dijelaskan karna berbagai alasan sebagai berikut:

1.
Diduga media massa sebenarnya efektif dalam mengubah sikap dan perilaku, tetapi alat ukur kita gagal untuk mendeteksi perubahan tersebut;
2.
Terjadi terpaan selektif yang menyebabkan orang cenderung menerima hanya informasi yang menunjang konsepsi yang telah ada sebelumnya;
3.
Ketika kita mengukur efek media massa, kita mengukur efek yang saling menghapus, artinya artinya orang menerima bukan saja media massa yang mengkampanyekan hal tertentu, tetapi juga media yang menentang hal tersebut;
4.
Media memang tidak menyebabkan orang beralih sikap, tapi hanya memperkokoh kecenderungan yang sudah ada, sehingga setiap pihak dengan kampanye, berusaha menghindari pindah ke pihak lain;
5.
Umumnya kita mengukur efek media massa pada sikap-sikap politik yang didasarkan pada keyakinan yang dipegang teguh, bukan pada sikap terhadapmerek minyak wangi tertentu;
6.
Diduga mereka yang diterpa media massa adalah orang-orang yang lebih terpelajar, lebih tahu, dan juga lebih stabil dalam hal kepribadian, sehingga mereka menerima pesan media dengan gagasan yang sudah terumus lebih tegas:
7.
Diduga media massa tidak berpengaruh langsung pada khalayak, tetapi melewati dulu pemuka-pemuka pendapat- ini lazimnya disebut teori dua langkah (two-step flow);
8.
Media massa tidak mengubah pendapat, tetapi-seperti dijelaskan pada agenda setting-memengaruhi penonjolan suatu isu diatas isu yang lain.

Argumentasi kedelapan membawa kita pada hubunganyang erat antara efek kognitif dengan efek efektif. Cialdini, Petty, dan Cacioppo bahkan menunjukan bahwa perhatian peneliti belakangan ini lebih terpusat pada respons-respons kognitif sebagai mediator efek sikap. Berikutnya penelitian Charles K. Atkin mengatakan bahwa media massa secara signifikan mempengaruhi orientasi afektif, walaupun dampaknya tidak sebesar pada orientasi kognitif.

Rancangan Emosional

Penelitian mengalami kesukaran untuk mengukur emosi ssedih, gembira, atau takut sebagai akibat pesan media massa. Kita tidak dapat mengukur efek emosional sebuah film tragedy dengan menampung air mata penonton yang tumpah; tidak juga mampu mengukur kegembiraan dengan  mengukur kerasnya suara ketawa ketika bereaksi pada suatu adegan yang lucu. Akan tetapi, para peneliti telah berhasil menemukan factor-faktor yang mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan media. Factor-faktor itu, antara lain:

1.
Suasana emosional yang mendahului terpaan stimulus mewarnai respons kita pada stimulus itu. Penelitian Murray tentang pengaruh suasana mental pada presepsi terhadap foto, dan penelitian Leubadan Lucas tentang hubungan antara suasana emosional dengan presepsi terhadap gambar yang disajikanmemperhatikan adanya pengaruh suasana emosional teradap pesanPenelitian Schacter dan Wheelermenemukan bahwa subjek penelitian yang telah diberi obat yang merangsang system saraf simpatetisnya menganggap adegan komedi lebih lucu daripada subjek-subjek yang disimpulkan bahwa respons anda pada film, sandiwara televisi, atau novel akan dipengaruhi oleh suasan emosional anda. Film-film sedih akan sangat mengaharukan, setelah anda sendiri mengalami kekecewaan sebelumnya. Sdegan-adegan lucu menyebabkan anda tertawa terbahak-bahak bila anda menontonnya setelah mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka.
2.
Skema kognitifSemacam “naskah” pada pikiran kita yang menjelaskan “alur” peristiwa. Kita tahu bahwa dalam film, pemeran utama akan menang pada akhirnya. Karena itu, kita tidak terlalu cemas ketika pahlawan kita jatuh dari jurang. Kita menduga pasti ia akan tertolong juga. Menurut Walter Weiss Kesadaran bahwa sang pahlawan dalam kebanyakan cerita, dan selalu dalam film-film serial, akan tetap hidup pada akhir cerita, cenderung memoderatkan goncangan emosional ketika sang pahlawan ditempatkan dalam situasi berbahaya dan menakutkan.
3.
Suasan terpaan (setting of exposure). Anda akan sangat ketakutan menonton film horror bila anda menontonnya sendirian disebuah rumah tua, ketika hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberapa penelitian yang dilaporkan Weiss menunjukan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televise dalam keadaan sendirian atau ditempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan memengaruhi emosi anda pada waktu memberikan repons. Ketakutan dan emosi lainnya memang mudah menular.
4.
Faktor predisposisi individual mengacu pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi tragedy lebih terharu daripada orang periang. Sebaliknya, orang periang akan lebih terhibur oleh adegan lucu daripada melankolis. Beberapa penelitian pembuktian bahwa acara yang sama bisa ditanggapu berlainan
5.
Identifikasi khalayak terhadap tokoh yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penonton,pembaca,atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh. Karena itu, ketika tokoh identifikasi  (disebut identifikan) itu kalah, ia juga kecewa; ketika identifikan berhasil, ia ikut gembira. Mungkin juga kita menganggap seorang tokoh dalam televis atau film sebagai lawan kita. Yang terjadi sekarang ialah disidentifikasi. Dalam posisi seperti ini, kita gembira bila diidentifikasikan celaka, dan jengkel bila ia berhasil. Semuanya ini menunjukan bahwa makin tinggi identifikasi (atau disidentifikasi) kita dengan tokoh yang disajikan, makin besar intensitas emosional pada diri kita akibat terpaan pesan media massa.

Rangsangan Seksual

Sejenis rangsangan emosional yang banyak dibicarakan orang adalah rangsangan seksual akibat adegan-adegan merangsang dalam media massa. Bahan bahan erotis dalam televisi, film, majalah, buku, dan sebagainya, biasanya disebut “pornografi”. Karena istilah ini terlalu abstrak, beberapa orang ahli menggunakan istilah SEM(sexually explicit materials) atau eroticaDiduga oleh kebanyakan orang dan diyakini oleh sejumlah orang bahwa erotica merangsang gairah seksual,meruntuhkan nilai nilai moral, mendorong orang gila seks, atau mrngalahkan perkosaan.

Penelitian menunjukan bahwa terpaan erotica, meskipun berlangsung singkat, akan membangkitkan gairah seksual pada kebanyakan pria dan wanita; selain itu ia juga menimbulkan reaksi-reaksi emosional lainnya seperti resah, gelisah, agresif, dan implusif. Erotica terbukti membangkitkan rangsangan seksual,

Stimuli erotis adalah stimuli yang membangkitkan gairah seksual – intetnal dan eksternal. Stimuli internal ialah perangsang yang timbul dari mekanisme dalam tubuh organisme – misalnya pada binatang ialah adanya perubahan hormonal pada bulan-bulan tertentu  yang merupakan musim berkelamin. Stimuli eksternal merupakan petunjuk-petunjuk (cues) yang bersifat visual, berupa bau-bauan (olfactory), sentuhan (tactual), atau gerakan (kinesthetic).

Faktor-faktor yang menstimuli rangsangan erotis manusia adalah faktor pelaziman (pengulangan) berkali-kali, faktor imajinasi, dan faktor pengalaman.

Efek Behavioral Komunikasi Massa

Efek Prososial Behavioral

Salah satu perilaku prososial ialah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Dari sekian banyak jenis dari media massa tentu memiliki efek prososial behavioral yang berbeda-beda. Dan hal in tidak hanya bergantung hanya pada unsur stimuli media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi untuk menjelaskan peristiwa belajar seperti ini.

Teori psikologi yang dapat menjelaskan efek prososial media massa adalah teori belajar sosial dari Bandura.Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan . Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.Bandura menjelaskan proses belajar  social dalam empat tahapan proses:

1.
Proses perhatian. Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggalam) atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “abstract modeling” (misalnya sikap,nilai,atau persepsi realitas sosial). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang tua kita, kawan kita,guru,atau sajian media massa. Kita baru dapat mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani. Tetapi tidak setiap peristiwa kita perhatiakan. Menurut Bandura, peristiwa yang menarik perhatian ialah yang tampak menonjol dan sederhana, terjadi berulang ulang, atau menimbulkan perasaan positipositif pada pengamatnya.
2.
Proses pengingatanPerhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benaknya dan memanggilnya kembali tatkala mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Peneladanan tertangguh (delayed modeling) hanya terjadi bila mereka sanggup mengingat peristiwa yang diamatinya.
3.
Proses produksi motoris. Tahap ini tahap menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita amati. Untuk melakukan hal tersebut membutuhkan motivasi.
4.
Proses motivasional. Proses motivasional bergantung pada peneguhan. Ada 3 hal macam peneguhan yang mendorong kita bertindak, yaitu peneguan eksternal, peneguhan gantian dan peneguhan diri.

Peneguhan eksternal: kita akan melakukan sesuatu apabila kita mengetahui bahwa orang lain tidak akan mencemooh kita atau kita tau bahwa orang lain akan menghargai kita

Peneguan penggantian: kita akan terdorong melakukan perilaku teladan bila kita melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karna perbuatannya.

Peneguhan diri: tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasaan puas, senang atau dipenuhinya citra diri yang ideal.

 

Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa        

Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televisi.

Dalam film (televisi) sering disajikan adegan pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, dan sebagainya, yang merusak atau mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya dianggap sebagai bagian yang “ramai” dari penyajian film. Penonton menyukainya, dan produser tentu saja menyukainya pula. Bersama dengan adegan seks, adegan kekerasan adalah pemancing penonton yang paling manjur. Akibatnya presentase film film “darah dan dada” (blood-and-breast) mangkin meningkat. Di Indonesia, belakangan gejala seperti ini mulai menonjol.

Secara singkat, hasil penelitian tentang efek adegan kekerasan dalam film atau televisi dapat disimpulkan pada tiga tahap: (1) mula-mula penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh (observational learning); (2) selanjutnya, kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition) dan (3) akhirnya, mereka tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi(desensitization). Jadi film kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka.

Efek Sosial Komunikasi Massa

Pada teori imitasi dan sugesti dari Davis P. Philips. Philips adalah ahli sosiologi. Ia menyebutkan bahwa teorinya bukanlah hal yang baru. Ahli-ahli sosiologi seperti Tarde, Le Bon, dan Mead telah membicarakan peranan imitasi dan sugesti. Begitu pula para psikolog telah banyak mengulas teori modeling. Yang baru dari Philips ialah menggunakan kerangka teori imitasi pada efek media massa terhadap anggota-anggota masyarakat.

Misalkan, peristiwa bunuh diri diberitakan besar-besaran dalam televisi apakah berita tu akan mendorong anggota-anggota masyarakat untuk melakukan bunuh diri pula ?David P. Philips menjawab “ya”. Ia menguji hipotesisnya dengan meniliti peristiwa bunuh diri dan kecelakaan mobil sesudah publikasi bunuh diri dalam media massa. Hasilnya dilaporkan: (1) peristiwa bunuh diri bertambah secara menonjol setelah publikasi bunuh diri ; (2) kecelakaan mobil yang fatal juga meningkat setelah pemberitaan bunuh diri; (3) kecelakaan mobil yang dikemudikan sendiri juga meningkat.; (4) usia bunuh diri dalam  berita media massa; (5) makin luas pemberitaan peristiwa bunuh diri, makin besar peningkatan jumlah orang yang bunuh diri atau mendapat kecelakaan lalulintas yang fatal; (6) tingkat bunuh diri tertinggi dan tingkat kecelakaan tertinggi terjadi terutama sekali pada wilayah geografis dimana diberitakan peristiwa bunuh diri.

Penelitian Philips menarik. Apalagi setelah ia juga menganalisa hubungan antara publikasi peristiwa bunuh diri dengan kecelakaan pesawat terbang di Amerika Serikat. Tampaknya, banyak pilot yang membunuh diri dengan mencelakakan pesawat yang dikendalikannnya, berikut penumpang-penumpangnya karena “terilhami” oleh peristiwa bunuh diri   yang dilihatnya pada media massa. Yang lebih menariknya lagi sebetulnya penjelasan Philips tentang teorinya. Ia menyebut proses imitasi ini sebagaipenularan cultural (cultural contagion) yang ia analogikan dengan penularan penyakit (biological contagion). Ia menyebutkan enam karakter penularan cultural:

1)
Periode Inkubasi. Dalam penularan penyakit, gejala penyakit baru muncul beberapa saat setelah orang dikenai mikroorganisme. Phillips membuktikan bahwa peristiwa bunuh diri berikutnya terjadi rata-rata tiga atau empat hari sesudah pemberitaan bunuh diri.
2)
Imunisasi. Penyakit menular dapat dihindari dengan imunisasi. Kita dapat mengimunisasi orang terhadap penyakit cacar dengan menginjeksikan dengan dosis kecil mikroorganisme lain yang sejenis (misalnya, cowpox). Begitu pula, orang tidak akan terpengaruh oleh peristiwa bunuh diri, bila kepadanya telah diberikan berita-berita bunuh diri yang kecil-kecil.
3)
Penularan Khusus atau Umum. Dalam penularan biologis, mikroorganismetertentu hanya menyebabkan penyakit tertentu. Bakteri diphtheria hanya menyebabkan diphtheria. Menurut Phillips, kisah bunuh diri ternyata dapat menular khsus dan juga umum. Peristiwa seseorang yang bunuh diri menyebabkan kecelakaan kendaraan yang ditumpangi oleh pengemudinya saja ; tetapi juga dapat mendorong peristiwa bunuh diri dan kecelakaan mobil.
4)
Kerentanan untuk Ditulari. Orang-orang yang tergangu kesehatan biologisnya mudah ditulari penyakit. Demikian pula mereka psikologis sakit (misalnya rendah diri, sering gagal, kehilangan pegangan hidup cenderung mudah meniru peristiwa bunuh diri.
5)
Media Infeksi. Beberapa penyakit ditularkan lebih efektif lewat media tertentu. Kolera lebih mudah menyebar melalui air dari pada udara. Pneumonia sebaliknya. Dalam penelitian Phillips, peristiwa bunuh diri lebih cepat menular bila diberitakan oleh surat kabar dari pada televisi.
6)
Karantina. Penyebaran penyakit dapat dihentikan dengan mengkarantinakan individu yang menderita penyakit itu. Penderita TBC dikrim ke sanatorium.

Phillips menemukan bahwa peniruan bunuh diri dapat dikurangi dengan mengurangi publisitas peristiwa bunuh diri. Ia juga menemukan bahwa berita bunuh diri yang dimuat pada halaman dalam (halaman 3 atau 4) surat kabar tidak menimbulakan efek pada kematian berikutnya.

Daftar Pustaka

 

Ardianto, Elvinaro. 2009. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Rakhmat, Jalaludin. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Riswandi. 2013. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

13

Psikologi Komunikasi

Pusat Bahan Ajar dan eLearning

 

 

Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom

http://www.mercubuana.ac.id

 

Komentar