ISSUE AND CRISIS MANAGEMENT

C:\Users\User\Desktop\KRISIS.jpg

ISSUE AND CRISIS MANAGEMENT


Manajemen Isu dan Krisis Manajemen  serta Hubungannya dengan Public Relations


         Setiap perusahaan atau organisasi tidak dapat dilepaskan dari masalah ataupun konflik yang dapat memicu terjadinya krisis. Sayangnya seringkali pihak manajemen baru menyadari saat konflik telah berubah menjadi krisis yang kronis. Karena itu sangat penting bagi sebuah organisasi untuk melakukan tindakan pencegahan.

         Saat krisis semakin bergulir, seringkali informasi yang berkembang menjadi simpang siur dan semakin tak terkendali, bahkan menjadi isu panas yang dapat mempengaruhi opini publik terhadap organisasi. Karena itu organisasi harus segera melakukan manajemen isu sehingga krisis yang ada tidak semakin larut dan berkepanjangan.

         Istilah manajemen isu atau “issues management” sendiri merupakan salah satu bagian penting dalam aktivitas public relations. Melihat pada konteks definisi public yang seringkali digunakan, diantaranya menurut Scott M. Cutlip, Allen H. Center, Glen M. Broom, “Public Relations merupakan fungsi manajemen yang membentuk dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan masyarakat, yang menjadi sandaran keberhasilan atau kegagalannya”.3 Atau pendekatan oleh The Institute of Public Relations yang menyebutkan Public Relations sebagai  keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.4

         Maka dari kedua konsep singkat tersebut Public relations sendiri  Sebagai fungsi manajemen dipandang bertanggung jawab dalam memelihara reputasi positif organisasi atau perusahaan. Dalam konteks manajemen isu dan manajemen krisi PR mengembangkan komunikasi dua arah antara perusahaan dan publik yang dianggap penting untuk menciptakan dan mempertahankan goodwill dan mutual understanding publik terhadap tujuan, kebijakan, dan kegiatan perusahaan. Dalam hal ini, PR menggunakan pendekatan pendekatan komunikasi untuk mengelola berbagai isu yang mengarah pada krisis, dengan berusaha membangun saling pengertian atau mutual understanding dengan publik.


         Sementara itu kebanyakan definisi manajemen isu diorganisir sekitar ide inti bahwa itu adalah proses perencanaan strategis yang digunakan untuk mendeteksi  mengeksplorasi dan menutup kesenjangan antara tindakan organisasi -khususnya perusahaan - dan harapan stakeholders ( Heath , 1997). 

         Sebenarnya manajemen isu telah muncul pada tahun 1960 sebagai respon organisasi untuk lingkungan sosio – politik yang tak menentu, isu-isu manajemen pada awalnya digambarkan hanya dalam hal pertahanan sebagai sistem peringatan dini atau proses yang membantu organisasi menghindari hasil kebijakan publik yang tidak diinginkan. 

         Sedangkan itu bahasan mengenai manajemen isu sendiri pertama kali dipublikasikan oleh W. Howard Chase pada tanggal 15 April 1976 dalam newsletter-nya “Corporate Public Issues and Their Management” Volume 1 No. 1.Newsletter. ia menyebutkan bahwa tujuan-tujuan manajemen issue adalah untuk memperkenalkan dan memvalidasikan suatu penetrasi dalam desain dan praktek manajemen korporat dengan tujuan untuk setidaknya mengelola issue publik korporat sebaik atau bahkan lebih baik dibandingkan manajemen tradisional dari operasional yang hanya memikirkan keuntungan saja. Ia juga mengatakan bahwa isinewsletter-nya akan menggiring pembacanya pada revisi dasar atas praktek-praktek yang berbiaya tinggi dan tak sesuai dari jajaran staff manajemen tradisional. Ditambahkannya bahwa pada masa ini hanya ada satu manajemen dengan satu tujuan: bertahan hidup dan kembali pada kapital yang cukup untuk memelihara produktivitas, apapun iklim ekonomi dan politik yang tengah berlangsung. (Caywood, 1997:173).

         Bersama rekannya, Barry Jones, Chase mendefinisikan “Manajemen Issue” sebagai ‘sebuah alat yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisa dan mengelola berbagai issue yang muncul ke permukaan (dalam suatu masyarakat populis yang mengalami perubahan tanpa henti) serta bereaksi terhadap berbagai issue tersebut SEBELUM issue-issue tersebut diketahui oleh masyarakat luas.’ (Regester & Larkin, 2003:38).

         Pada 1990-an , praktisi dan akademisi mulai memberikan pengakuan eksplisit untuk peran penting harapan stakeholders , namun penekanannya terus berada di peran reaktif dan defensif yang dimainkan oleh manajer masalah dalam kaitannya dengan " menutup celah" dan menghindari masalah. Saat ini , manajemen isu diterapkan baik secara oportunis dan ofensif , terus berkembang dari sebagai  alat pencegahan krisis reaktif hingga pemeliharaan disiplin manajemen strategis (Jacques , 2002 sebagaimana dikutip Dougall) . Selain itu, manajemen isu-isu kontemporer bisa jauh lebih dari sebuah proses defensif yang hanya berguna untuk perusahaan . perhatian dari para stakeholders dan organisasi publik - advokasi lain yang berkepentingan , organisasi non - pemerintah, departemen dan instansi pemerintah , media berita dan pemimpin opini - membawa isu-isu ke dalam agenda publik. Strategi dan taktik manajemen isu telah lama menjadi alat buruh yang terorganisir , pemerintah dan bahkan aktivis , tidak hanya perusahaan ( Heath , 2006 ).

         Lebih lanjut Dougall mengutip dari Ewing bahwa manajemen isu sendiri berkaitan dengan " 'rencana' lingkungan sosial politik - proses  kebijakan publik- yang  akan dibuat untuk lembaga " ( Ewing , 1980, hal. 14 ) . Sebagai praktek , manajemen isu menuntut keahlian penelitian ( pengumpulan data, analisis dan interpretasi ) , kesadaran , pemahaman yang kaya mengenai  lingkungan sosio-politik dari organisasi , industri dan mungkin yang paling penting , kemampuan untuk melakukan advokasi dengan manajemen senior dan melintasi batas-batas organisasi (http://www.instituteforpr.org/topics/issues-management/ # sthash.EKkeP5ob.dpuf)

         Sementara itu Heath mendefinisikan manajemen isu sebagai sebuah antisipasi, proses manajemen strategis yang membantu organisasi mendeteksi dan merespons dengan tepat terhadap tren atau perubahan dalam lingkungan sosio-politik. tren atau perubahan ini  kemudian dapat mengkristal menjadi "masalah," yang merupakan situasi yang membangkitkan perhatian dan kepedulian publik organisasi berpengaruh dan para stakeholders. Yang terbaik, manajemen isu adalah pelayanan untuk membangun, memelihara dan memperbaiki hubungan dengan stakeholders dan stakeseekers (Heath, 2002).

         Di tahun 1992 pada acara “Public Relations Colloquium” yang disponsori oleh firma public relations dari Nuffer, Smith, Tucker, Inc. San Diego State University dan Northwestern University’s Medill Scholl of Journalism, sekelompok praktisi PR mengembangkan sebuah definisi yang beorientasi pada tujuan: “Manajemen issue adalah proses manajemen yang tujuannya membantu melindungi pasar, mengurangi resiko, menciptakan kesempatan-kesempatan serta mengelola imej sebagai sebuah aset organisasi bagi manfaat keduanya, organisasi itu sendiri serta stakeholder utamanya, yakni pelanggan/konsumen, karyawan, masyarakat dan para pemegang saham”. (Caywood, 1997:173)

         Sementara itu pakar pakar PR di Indonesia mendefinisikan manajemen issue sebagai “fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap masyarakat, baik internal maupun eksternal, mengidentifikasi hal-hal atau masalah yang patut dikhawatirkan dan melakukan usaha-usaha ke arah perbaikan”. Selain itu, mereka juga mengartikannya sebagai “suatu usaha aktif untuk ikut serta mempengaruhi dan membentuk persepsi/pandangan/opini dan sikap masyarakat yang mempunyai dampak terhadap perusahaan”. (Wongsonagoro, 1995)

         Organisasi terlibat dalam isu-isu manajemen jika pengambil keputusan secara aktif mencari, mengantisipasi, dan menanggapi pergeseran harapan stakeholders dan persepsi cenderung memiliki konsekuensi penting bagi organisasi . 

         Karena itu bisa dikatakan bahwa manajemen isu adalah identifikasi isu yang dapat berdampak pada organisasi, selanjutnya menetukan tindakan tindakan strategis ataupun melakukan tindakan komunikasi untuk meminimalkan dampak dari ketidakpuasan stakeholders. 

         Chase ( 1984) berpendapat bahwa manajemen isu erat kaitannya dengan aktivitas kerja  PR dan berbagai disiplin ilmu yang termasuk public affairs, komunikasi dan hubungan pemerintah atau government relations. Heath dan Cousino ( 1990 ) berpendapat bahwa praktisi PR memahami dan dapat memainkan peran penting dalam lingkungan yang semakin kompleks, termasuk mempromosikan kepentingan bottom line dari organisasi dan membangun hubungan. Isu komunikasi merupakan komponen strategis yang penting dari manajemen isu, tapi keputusan yang baik tentang strategi dan taktik komunikasi lebih cenderung dilakukan oleh praktisi yang memahami ruang lingkup penuh masalah manajemen, memiliki pengetahuan yang luas tentang organisasi dan lingkungannya , dan kolaborator terampil yang lengkap untuk bernegosiasi melintasi batas-batas organisasi.

Manajemen isu sendiri meliputi berbagai aspek, diantaranya (Craig, 2012) :

• Mengantisipasi keputusan bisnis
• Memahami dampak potensial keputusan 'pada reputasi dan hubungan
• Memberikan saran dan perencanaan PR strategis 
• Menempatkan tindakan membangun reputasi yang  proaktif
• Merencanakan dan menyiapkan proses khususnya untuk manajemen krisis.


         Dalam suatu organisasi tidak ada yang lebih kompeten dalam menentukan strategi dan kebijakan komunikasi kecuali PR. Eksekutive PR adalah orang yang dapat memberikan saran mengenai kebijakan komunikasi organisasi dan proses yang akan berdampak positif atau negatif terhadap hubungan dengan stakeholders dan apa organisasi harus lakukan. 

         Public relations sendiri seringkali diciptakan oleh organisasi pada saat suatu isu muncul ke permukaan dan dianggap membahayakan organisasi. Dougall mengutip dari Griffin bahwa Fungsi corporate public affairs, dimana inisiatif manajemen isu muncul, yang paling sering dibuat sebagai respon perusahaan terhadap krisis (Griffin, 2005). Bekerja dengan sumber daya yang terbatas di lingkungan sulit dan sering melapor langsung kepada CEO, " eksekutif publik affairs bekerja dengan legislator dan regulator pemerintah, dan menciptakan strategi yang sering mencerminkan tahap yang terlambat, resistensi / reaktif, atau gaya 'pemadam kebakaran'." (Hal. 466 ). Pada saat eksekutif publik affairs melangkah ke perdebatan, isu kebijakan publik pada umumnya menjauh dari siklus hidup isu (Mahon, 1989). Upaya untuk menentukan ruang lingkup dan tanggung jawab manajemen isu dalam mode proaktif dibandingkan saat pertama kali muncul pada 1990-an yang cenderung reaktif (Heath,hal. 210).   

         Sebelum melanjutkan pada tahapan mengenai isu, tentunya yang pertama kali harus kita pahami adalah apa yang menjadi batasan dari isu itu sendiri. Isu sendiri tidak dapat dengan sederhana dipahami sebagai gossip/ rumour sebagaimana seringkali diterjemahkan secara bebas.

         Dalam konteks manajemen isu perusahaan (corporate issues management), isu merupakan  inkonsistensi kontroversial yang disebabkan oleh kesenjangan antara harapan perusahaan dan orang-orang dari publik mereka. Kesenjangan ini menyebabkan titik perbedaan yang diperdebatkan, resolusi yang dapat memiliki konsekuensi penting bagi suatu organisasi (Heath, 1997; Wartick & Mahon, 1994). Sementara organisasi, stakeholder dan konstituen lain mungkin prihatin dengan masalah yang sama, perspektif mereka jarang memeiliki titik temu. Peran proses manajemen isu adalah menentukan keberadaan dan kemungkinan dampak dari titik-titik perbedaan yang menjadi permasalahan. 

         Sementara itu dua pakar di AS, Hainsworth dan Meng, menyebutkan bahwa sebuah issue muncul “sebagai suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan, atau diusulkan untuk dilakukan, oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal, atau dapat menjadi masalah kebijakan publik melalui tindakan legislative atau perundangan.” Chase & Jones menggambarkan “issue” sebagai ‘sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap diambil keputusannya’ (‘an unsettled matter which is ready for decision’). Pakar lain mengatakan bahwa dalam bentuk dasarnya, sebuah “issue“ dapat didefinisikan sebagai ‘sebuah titik konflik antara sebuah organisasi dengan satu atau lebih publiknya’ (‘a point of conflict between an organization and one or more of its audicences’). (Regester & Larkin, 2003:42).

         Sedangkan Heath & Nelson (1986) mendefinisikan “issue” sebagai ‘suatu pertanyaan tentang fakta, nilai atau kebijakan yang dapat diperdebatkan’ (‘a contestable question of fact, value or policy’).

         Definisi sederhana lainnya menurut Regester & Larkin (2003:42) bahwa sebuah “issue“ merepresentasikan ‘suatu kesenjangan antara praktek korporat dengan harapan-harapan para stakeholder’ (‘a gap between corporate practice and stakeholder expectations’). Dengan kata lain, sebuah issue yang timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang.

         Dari berbagai definisi dan uraian singkat di atas, kita dapat menarik benang merah dari apa yang disebut dengan  “issue”, yang mana menunjuk pada adanya masalah atau bahkan konflik dalam suatu organisasi yang disebabkan adanya perbedaan nilai, harapan dan faktor faktor perbedaan lainnya, dan oleh karena itu perlu untuk segera diselesaikan. Pendekatan ataupun strategi yang digunakan dalam mengelola dan menangani issue tersebut yang pada akhirnya memunculkan teori dan proses “manajemen issue”.

         Setiap perusahaan atau organisasi tentunya selalu berharap memiliki reputasi yang baik dan  positif. Memiliki reputasi positif berarti peluang perusahaan untuk memenangkan hati publik akan semakin besar. Di mata konsumen misalnya, produk atau jasa dari perusahaan dengan reputasi baik cenderung akan lebih dipilih dibandingkan perusahaan dengan reputasi sebaliknya. Kita mungkin masih teringat beberapa tahun silam ketika salah satu anak perusahaan Bakrie, PT Lapindo,  yang beroperasi di lapangan pengeboran minyak dan gas di  Sidoarjo dianggap dengan ceroboh melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan, hingga sekarang sebagian besar publik memandang Lapindo sebagai salah satu perusahaan dengan track record yang tidak etis, tidak memiliki tanggungjawab moral dan sosial. Yang dihadapi perusahaan tak kurang setidaknya boikot dari organisasi pecinta lingkungan dan terutama dari komunitas setempat serta yang terburuk adalah ekpose media massa yang demikian gencar yang semakin memperburuk reputasi Lapindo.bahkan Grup Bakrie sebagai induk Lapindo juga ikut menanggung akibat dengan semakin buruknya citra perusahaan keluarga ini di benak publik. 

         Sebaliknya perusahaan dengan reputasi positif akan senantiasa memperoleh tempat yang baik di benak publik. Untuk membangun, dan sekaligus memelihara serta mempertahankan reputasi positif sendiri bukan sesuatu yang mudah. Terlebih jika suatu isu telah berkembang menjadi semakin liar dan tak terkendali. Taruhlah misalnya kejadian kecelakaan yang menimpa pesawat Garuda di Yogyakarta beberapa tahun silam. Tindakan manajemen Garuda dinilai cukup cepat, dan tepat sehingga dapat membatasi isu publik untuk tidak berkembang menjadi bola panas yang dapat merusak reputasi Garuda yang saat itu sedang berusaha membangun citra positif menyusul larangan terbang ke beberapa negara di Eropa.

         Singkatnya dengan adanya reputasi positif, suatu organisasi dapat dengan mudah mencapai apa yang menjadi tujuannya, entah yang berorientasi profit atau non profit. Kepercayaan publik terhadap suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh reputasi yang dimiliki organisasi tersebut.

         Pada dasarnya reputasi adalah nama baik yang dinilai dari pihak eksternal dan internal. Menurut Gaotsi dan Wilson (2001), reputasi adalah evaluasi semua stakeholder terhadap organisasi sepanjang waktu yang didasarkan atas pengalaman stakeholder tersebut dengan organisasi.

         Reputasi sendiri dapat dikatakan sebagai suatu harapan nilai yang dimiliki stakeholder mengenai suatu organisasi vis-a-vis rekan-rekan dan pesaing. Kebanyakan definisi reputasi fokus pada pengalaman. Untuk itu kita harus terlebih dahulu memahami dan mengelola ekspektasi dari stakeholders.

         Stakeholder pertama menilai organisasi mengenai apakah relevan atau tidak dengan harapan nilai mereka dibandingkan dengan orang lain di kelompok yang sama atau kompetitif. Sementara stakeholder yang dipandang penting bagi organisasi biasanya  memiliki potensi untuk menciptakan, meningkatkan atau merusak nilai, baik secara langsung atau dengan orang lain.

         Reputasi dengan demikian bisa dikatakan sebagai nilai kompetitif yang dirasakan merupakan kesenjangan antara perusahaan dalam memenuhi harapan stakeholder. Kesenjangan itu diyakini dapat membantu menentukan plafon harga, variasi nilai pasar antara pesaing, atau bahkan kemampuan satu perusahaan untuk menarik dan mempertahankan potensi terbaik, dan liputan media yang lebih baik, dll. Nilai yang dirasakan bersifat kompetitif dan karena itu tidak terbatas. 

Sementara itu terdapat tiga faktor yang dapat memperkuat reputasi, diantaranya adalah :

  1. kemampuan berkomunikasi
  2. inovasi
  3. nilai sumber daya manusia


         Pengelolaan reputasi atau Manajemen reputasi, oleh karena itu merupakan pengelolaan harapan stakeholders dalam rangka memaksimalkan nilai kompetitif yang dirasakan organisasi. Kemampuan dan keahlian komunikasi sendiri merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi reputasi. Jika strategi komunikasi yang digunakan tepat maka reputasi dapat semakin kuat dan positif.

Ada beberapa pendekatan dalam manajemen reputasi. Salah satunya mencangkup aspek-aspek berikut :

  1. Analisis reputasi, dilakukan untuk memahami stakeholder organisasi. Mengkaji stakeholder, mana yang mendukung dan mana yang mengkritik organisasi
  2. Perencanaan strategis, melihat lingkungan eksternal dan internal organisasi sehingga dapat mengidentifikasikan kekuatan, kelemahan,peluang dan ancaman pada organisasi (SWOT)
  3. Stakeholder Relations, menyusun rencana komunikasi dan relasi dalam konteks PR umumnya dan media relations khususnya
  4. Pemantauan media, kegiatan mengikuti berita di media, khususnya pemberitaan yang positif dan negatif bagi organisasi
  5. Pelatihan media, pelatihan staf PR agar para staf mengetahui apa yang dibutuhkan media massa dan bagaimana cara bekerja sama dengan media
  6. Materi komunikasi, pesan yang disampaikan pada media atau publik organisasi. Pesan itu dibuat dalam bentuk brosur, leaflet, situs web, media internal, teks pidato atau materi presentasi
  7. Media relations, ada dua sisi wujud relasi antara reputasi dan media relation, sisi pertama media relations yang baik akan menjadi sarana unuk menjaga dan meningkatkan reputasi. Sisi lain, reputasi akan mempermudah membangun media relations yang baik
  8. Government relations, pentingnya membangun relasi dengan pemerintah untuk menjaga reputasi organisasi
  9. Manajemen isu dan manajemen krisis, sebuah organisasi harus siap menghadapi isu dan krisis yang bisa datang sewaktu-waktu

         Manajemen isu tampak jelas merupakan salah satu aspek penting dalam manajemen reputasi. Munculnya isu yang dapat mengancam reputasi organisasi pada dasarnya merupakan early warning atau peringatan dini bagi PR untuk segera mengelola isu (manajemen isu). 

         Karena itu manajemen issu sudah semestinya menjadi perhatian penting dari para pengambil keputusan berkaitan dengan strategi komunikasi. Jika reputasi sendiri berkaitan dengan penilaian dan harapan stakeholders terhadap organisasi. Maka manajemen isu_yang dilakukan sebagai bentuk antisipasi terhadap hadirnya masalah atau konflik_dapat menjadi salah satu tindakan strategis untuk mengatasi kemungkinan terjadinya penurunan reputasi yang diakibatkan adanya konflik yang mempengaruhi penilaian dan harapan publik terhadap organisasi. 

Berkaitan dengan reputasi, terdapat dua elemen mendasar dari PR berkaitan dengan manajemen isu:

• membangun reputasi dan hubungan 
• Melindungi reputasi dan hubungan.

         Disadari atau tidak, manajemen isu yang kurang baik dapat berdampak terhadap reputasi perusahaan. Memelihara hubungan positif dengan stakeholder mungkin lebih penting daripada strategi krisis individu. Jelas bahwa hubungan yang negatif berdampak pada persepsi terhadap suatu organisasi selama krisis (Coombs & Holliday, 2001). Unsur-unsur seperti kepercayaan, keterbukaan, investasi dan komitmen telah diidentifikasi oleh para sarjana (Bruning & Ledringham, 1999; Bruning & Galloway, 2003) sebagai penting untuk membangun hubungan organisasi-stakeholder.

         Manajemen isu dan resiko bersifat proaktif, dalam rangka membangun, mempertahankan, dan menjaga reputasi yang baik. Perusahaan ataupun organisasi memerlukan serangkaian kompetensi dasar yang saling berkaitan untuk mengelola sejumlah resiko reputasi, diantaranya :

  1. manajemen isu dan risiko strategis
  2. komunikasi pemasaran/ merek yang efektif dan pengembangan pesan.
  3. Pengembangan citra dan identitas korporat
  4. perencanaan manajemen krisis.
  5. Inovasi dan komunikasi perubahan.
  6. Keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan.
  7. Etika dan peraturan / kepatuhan

         Bayangkan bila Anda bekerja sebagai praktisi humas di sebuah perusahaan obat dan mendapati laporan media yang menghubungkan salah satu produk unggulan perusahaan Anda dengan kematian sejumlah konsumen produk tersebut. Saat seperti inilah yang menjadi tanda atau gejala munculnya sebuah krisis. Dan bila si praktisi humas tidak melakukan tindakan cepat untuk mengantisipasi berita tersebut, besar kemungkinan perusahaannya akan benar-benar menghadapi krisis yang dapat menghancurkan perusahaan.

         Pengendalian dan pengelolaan issue serta krisis menjadi sebuah bidang khusus yang harus ditangani humas karena pada saat seperti ini reputasi perusahaan berada dalam taruhan.

         Reaksi manajemen issue yang efektif berdasarkan pada dua aturan kunci: identifikasi awal dan reaksi yang terorganisir dalam mempengaruhi proses kebijakan publik. Yang harus diingat adalah bahwa mengelola issue seharusnya tidak dianggap sebagai kegiatan defensif. Sifat manajemen issue ini adalah proaktif karena manajemen issue adalah sebuah proses yang proaktif, antisipatoris serta terencana yang dirancang untuk mempengaruhi perkembangan sebuah issue sebelum issue tersebut berkembang ke tahap yang membutuhkan manajemen krisis.









Daftar Pustaka

Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.

Chase, W. Howard. Issue Management: origins of the future. U.S.A.: Issue Actions Publications Inc., 1984.

Crable, R.E., Vibert, S.L., ‘Managing Issues & Influencing Public Policy’, Public relations Review, Summer 1985.

Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Terjemahan Dewi Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.

Harrison, Kim. Strategic Public Relations: A Practical Guide to Success – 2nd Edition. Vineyard Publishing, 2001.

Heath, R.L., Nelson, R.A., Issue Management. Newbury Park: 1986.

Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of Public Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995.

The Journal of Public Relations Research article on which this post is based, and from which quotes are pulled, is Organization-Public Relationships and Crisis Response Strategies: Impact on Attribution of Responsibility, Brown K.A. and White C.L., Volume 23 (1) 2011.

Arum, Cindy Christy, Media Relations, Rangkuman Manajamen Reputasi dan Kode Etik, http://cindychristyarum.wordpress.com

Dalton, John. Reputation and Strategic Issue management, London School of PR, UK

http://www.proto.pl/PR/Pdf/J.Dalton_v1.pdf

Dougall, Elizabeth Issue Management, http://www.instituteforpr.org/topics/issues-management/#sthash.WQV5PTDw.dpuf

http://www.instituteforpr.org/topics/issues-management/ # sthash.EKkeP5ob.dpuf)

Pearce,  Craig, PR changing organisational leopard spots for better reputations, May 31, 2012, Public Relations and Managing Reputation,

http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:PQvxxeEEAqsJ:craigpearce.info/public-relations/pr-changing-organisational-leopard-spots-reputations/+&cd=2&hl=id&ct=clnk

Pearce, Craig Issues Management = effective public relations, Public Relations Institute of Australia, http://www.pria.com.au/blog/id/1198

Schreiber, Elliot,  If PR Wants To Manage Reputation, It Needs To Become More Than Messengers, PRSAY, http://prsay.prsa.org/index.php/2011/03/01/pr-role-in-reputation-management/

 


Media online

Antara news.com http://www.antaranews.com/berita/355832/kpk-tetapkan-presiden-pks-sebagai-tersangka

Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2013/05/20/19323838/KPK.Telusuri.Aliran.Dana.Kasus.Impor.Daging.Sapi.ke.PKS

Merdeka online, 

  1. http://www.merdeka.com/politik/pks-kpk-arogansi-dan-sok-kuasa.html
  2. http://www.merdeka.com/politik/pendiri-pk-ramai-ramai-serang-pks.html
  3. http://www.merdeka.com/peristiwa/fahri-hamzah-kembali-tuding-istana-jadi-dalang-kasus-luthfi.html
  4. http://www.merdeka.com/politik/6-serangan-balik-pks-pada-kpk-dalam-kasus-luthfi-hasan-ishaaq.html




Komentar