KASUS-KASUS KRISIS, PERBANDINGAN PENGELOLAANNYA DAN AKIBAT DARI KRISIS

KASUS-KASUS KRISIS, PERBANDINGAN PENGELOLAANNYA DAN AKIBAT DARI KRISIS

   


         Dalam sejumlah kasus, di saat krisis belum begitu parah, perusahaan ataupun organisasi bisnis harus segera bertindak dan sesegera mungkin menyelesaikan krisis tersebut. Namun seringkali karena kecerobohan, banyak perusahaan terlambat bertindak dalam mengatasi krisis justru di saat krisis berada di tahap lanjut. Seringkali perusahaan justru berusaha menutupi krisis tersebut. Dalam suatu kejadian kecelakaan misalnya seringkali di banyak kasus, justru perusahaan berusaha menutupi kondisi dan jumlah korban. Atau seringkali informasi yang diberikan terlambat di updated sehingga menimbulkan simpang siur dan kepanikan atau   kemarahan public karena dianggap perusahaan tidak bertanggung jawab. Harus dicatat, kebohongan tidak akan membuat masalah cepat terselesaikan, justru membuat krisis menjadi semakin liar dan tak terkendali.

Berikut adalah Lima langkah dikutip dari Crisis Public Relations (Nova 2009 : 172-175):

1. Perusahaan yang sedang mengalami krisis sebaiknya cepat memberi respon kepada publik.
2. Perusahaan harus memberikan informasi yang jujur karena publik akan lebih mudah memaafkan kesalahan apabila perusahaan itu jujur daripada perusahaan tersebut berbohong.
3. Penting bagi perusahaan untuk selalu informatif karena seperti juga masyarakat, media akan menciptakan versi mereka sendiri apabila perusahaan tidak memberikan informasi yang mereka perlukan. Rumor atau gosip bisa menyebabkan kehancuran yang lebih fatal, jadi lebih baik perusahaan mengatakan yang sebenarnya.
4. Penting untuk memperlihatkan kepada publik anda peduli karena publik akan memaafkan jika perusahaan peduli pada korban krisis.
5. Memelihara hubungan baik. Ini penting karena perusahaan bisa mempelajari banyak pendapat masyarakat dengan mendengarkan.
 


Contoh-Contoh Kasus

         Berikut ini adalah sejumlah kasus yang dapat diamati. Beberapa kasus, salah satunya kasus tylenol dari Johnson & Johnson misalnya merupakan salah satu crisis management yang layak diacungi jempol. Namun ada pula kasus yang tak ditangani dengan baik yang mengakibatkan reputasi perusahaan semakin runtuh.


A.Kekuatan Rumor

         Sebagaimana telah dibahas sebelumnya jika rumor tidak di tangani dengan baik, bisa meluas dan menjadi krisis. Ditinjau dari tahapannya sebelum, rumor bisa dikatakan hampir serupa dengan isu. Seringkali karena rumor bersifat kontroversial dan kebenarannya simpang siur, publik berusaha mencari tahu sendiri dan membut opini yang dapat merugikan perusahaan. Padahal mungkin rumor tersebut sama sekali tidak terbukti kebenarannya. Karena itu jika diabaikan, rumor bisa berujung pada krisis. Ketika rumor telah menjadi krisis, tak ada pilihan lain kecuali segera melakukan penanganan dan pengelolaan krisis. Dengan manajemen krisis yang baik dapat beberapa perusahaan terbukti dapat keluar dari permasalahan tersebut. Berikut adalah beberapa contoh kasus dalam menangani krisis yang bersumber dari rumor.


Rumor Jarum Dalam Produk PepsiCo ( 1993) 

(Bhasin, http://www.businessinsider.com)

         Krisis ini berawal dari rumor yang muncul pertama kali pada tahun 1993, ketika Pepsi-Cola mendengar adanya laporan pertama mengenai adanya jarum suntik yang diduga ditemukan di dalam botol minuman ringan Diet Pepsi di negara bagian Washington. Minggu berikutnya , lebih dari 50 laporan Diet Pepsi bermunculan di beberapa negara bagian di Amerika- yang ternyata menjadi hoax (berita simpang siur yang merupakan tipuan belaka, omong kosong). 

         Tindakan yang dilakukan oleh manajemen Pepsi Cola untuk mengatasi krisis tersebut cukup baik. Pihak manajemen menggandeng pihak ketiga, yakni FDA (Food and Drug Association) atau Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika. Baik PepsiCo dan FDA meyakini bahwa laporan tersebut adalah rekayasa , sehingga perusahaan muncul di depan publik dengan tegas, dan bersikukuh membela diri terhadap tuduhan tersebut 

         Selanjutnya pihak Pespsi Cola melancarkan serangan komunikasi yang luas untuk meyakinkan konsumen. Taktik mereka  dittermasuk diantaranya memaksimalkan hubungan media (media relations) dan mengadakan sejumah wawancara media, open house perusahaan, siaran berita press release video, dukungan pihak ketiga dan hotline konsumen.

         PepsiCo tidak membuat pernyataan samar-samar dengan hanya mengatakan pada masyarakat untuk sekedar mempercayai mereka. Mereka memproduksi empat video selama krisis, seperti laporan yang komprehensif tentang proses pengalengan soda yang di lakukan di tempat pengeolahan produk PepsiCo. Yang paling menarik adalah rekaman penyadapan seorang wanita di toko Colorado, yang menempatkan jarum suntik ke dalam kaleng Diet Pepsi belakang toko.

         PepsiCo Amerika Utara CEO Craig Weatherup juga muncul di stasiun TV berita. Ia tidak sekedar mempersenjatai diri dengan bukti visual dari laporan palsu berkaitan dengan rumor adanya jarum, tetapi juga dengan dukungan eksplisit dari FDA. Weatherup  muncul terutama pada Nightline dengan Komisaris FDA David Kessler, dan mereka berdua meyakinkan masyarakat bahwa Diet Pepsi aman dikonsumsi.

         Hasilnya cukup memuaskan,  rumor mulai lenyap dalam waktu dua minggu setelah sejumlah penangkapan oleh FDA berkaitan dengan laporan palsu tersebut. Penjualan Diet Pepsi sempat jatuh sebesar 2 % selama krisis tetapi pulih dalam waktu satu bulan .

         Dalam krisis ini kasus yang terjadi memerlukan pertahanan agresif karena PepsiCo tidak melakukan sesuatu yang salah. Namun seandainya perusahaan tidak melakukan tindakan dan tetap tenang dan puas karena mereka tidak melakukan kesalahan, rumor ini  bisa saja jauh lebih buruk krisis yang makin liar dan tak terkendali.



Rumor Simbol Setan Pada Logo P&G

         Rumor  tidak saja merugikan reputasi perusahaan, namun juga stakeholders P&G seperti konsumen, Mitra Bisnis & Pemasok (seperti Perusahaan-perusahaan besar seperti Wal - Mart dan Target Usaha kecil seperti toko grosir), karyawan, Pemilik saham

         Berawal ketika perusahaan mendapatkan publisitas media yang tidak menyenangkan pada tahun 1980 an. Rumor yang menyebar menyebutkan bahwa logo bulan - dan - bintang adalah simbol setan. Tuduhan itu didasarkan pada suatu bagian tertentu dalam Alkitab. Logo - bulan dan bintang - dihentikan pada 1985 karena kontroversi (Witt, 1995). Rumor kembali muncul di tahun 90an, berawal dari Phil Donahue show yang sedang membahas afiliasi dengan Setan, dimana saat itu dikabarkan dihadiri salah  seorang eksekutif P & G berada. 

         Akibat rumor ini, P&G sendiri kehilangan keuntungan sebesar $ 595.000.000 antara tahun 1995 dan 1997. Pada tahun-tahun sebelumnya, selebaran anonim mulai muncul di supermarket, menyatakan bahwa perusahaan itu menyumbang 10 % dari pendapatannya untuk Gereja Setan dan mendesak pembeli untuk memboikot produk P & G . Perusahaan sendiri memantau krisis selama beberapa tahun, tetapi tidak pernah benar-benar melakukan sesuatu untuk mengatasi rumor tersebut dan berharap rumor tersebut akan berlalu dengan sendirinya. Manajemen Krisis yang dilakukan oleh P&G tampaknya tidak dikelola dengan baik. P & G gagal untuk bereaksi dengan cepat , sehingga rumor beredar selama lebih dari 20 tahun .Bahkan para petinggi di P & G takut bahwa jika mereka go public dan melawan, rumor tersebut akan membuat krisis semakin dalam dan malahan menjadi perhatian bagi orang-orang yang belum menyadarinya.

         P&G bertindak dengan menyewa konsultan keamanan, dan menyimpulkan bahwa distributor Amway Korporasi yang merupakan salah satu pesaing berat P&G menghidupkan kembali rumor menggunakan sistem pesan suara/voicemail untuk memberitahu ribuan pelanggan bahwa keuntungan P & G disumbangkan ke Gereja Setan. Ketika Perusahaan Amway mengetahui ini, mereka menyarankan distributor mereka untuk segera menarik kembali pernyataan mereka dan meminta maaf, yang akhirnya mereka bersedia meminta maaf. Pada tahun 1999, Proctor and Gamble telah mengajukan 15 tuntutan hukum. Dua distributor Amway , James dan Linda Newton kalah dalam gugatan hukum oleh P & G ( $ 75.000 ). Di tahun 2007  P & G memenangkan gugatan $ 19.000.000 terhadap empat distributor Amway karena menyebarkan rumor palsu . 

         Pada akhirnya P&G merubah logonya sejak tahun 1995, dengan menghilangkan gambar pria dan bulan sabit serta lingkaran, dan hanya menyisakan tulisan P&G berwarna biru. Perubahan berikutnya pada tahun 2003, namun tak terlalu signifikan. Terakhir pada 2013, P&G kembali mengubah logonya dengan mengembalikan lingkaran dan bulan sabit serta tulisan P&G.


B.Product Recall (Penarikan Produk)

Product recall/penarikan kembali produk adalah permintaan untuk mengembalikan ke pembuat dari sebuah produk atau keseluruhan produksi dari suatu produk, biasanya karena penemuan masalah keamanan atau cacat produk . Recall juga merupakan upaya untuk membatasi tanggung jawab atas kelalaian perusahaan ( yang dapat menyebabkan sanksi hukum mahal ) dan untuk memperbaiki atau menghindari kerusakan publisitas. Recall merupakan hal yang cukup mahal untuk sebuah perusahaan karena perusahaan sering diharuskan mengganti produk recall atau membayar untuk kerusakan/kecelakaan yang disebabkan oleh penggunaan, meskipun hal ini mungkin lebih murah daripada biaya konsekuensial yang disebabkan oleh kerusakan nama merek dan berkurangnya atau bahkan hilangnya kepercayaan produsen. Sehingga perusahaan juga akan mengalami kesulitan meluncurkan kembali produk yang sudah ditarik tersebut ke pasar, meskipun produk yang tercemar sudah diganti isi dan kemasannya.

         Undang undang perlindungan konsumen di suatu negara umumnya memiliki aturan dan atau persyaratan tertentu berkaitan dengan penarikan kembali produk. Peraturan tersebut biasanya mencakup berapa banyak biaya penggatian produk dan kemungkinan hukuman atau sanksi terhadap perusahaan jika terdapat korban. Kondisi inilah yang menjadikan penarikan produk menjadi kewajiban bagi perusahaan yang mengalaminya. Di bawah ini terdapat tiga kasus penarikan produk dari pasar yang memiliki akhir yang berbeda, yakni kasus Tylenol dari Johnson & Johnson dan kasus minuman jus kemasan Odwalla, serta minuman mineral Perrier. 


Kasus Tragedi Tylenol Johnson & Johnson di Amerika Serikat (1982)

(Regester & Larkin, 2003:122-125; Putra, 1999:87; Ruslan, 1999:103-104,Kasali, 1994:221-222)

         Suatu contoh krisis berkaitan dengan penarikan produk pernah terjadi pada kasus kapsul Tylenol, produk terkenal dari Johnson & Johnson. Tylenol sendiri memiliki 35 persen pasar obat sakit kepala di Amerika Serikat, menghasil-kan 450 juta dollar per tahun dan mengkontribusikan 15 persen lebih dari seluruh profit J&J.

         Kasus ini terjadi pada September 1982. Produk tylenol terkontaminasi oleh racun sianida menyebabkan tujuh orang meninggal di Chicago. Kasus tersebut merupakan suatu tragedi yang menghebohkan dan menjadi sorotan luar biasa oleh media massa dan masyarakat Amerika Serikat. Kemudian diikuti laporan tentang berbagai penyakit dan kematian sebagai akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol.

         Dampak negatif tidak hanya menghantam J&J sehingga berkembang krisis kepercayaan dan hancurnya reputasi perusahaan, tapi juga menimbulkan kepanikan luar biasa di masyarakat yang selama ini merasa telah mengkonsumsi kapsul maut tersebut. Dan akhirnya perusahaan sejenis lain ikut terimbas dampak negatifnya akibat untuk sementara waktu konsumen tidak mau membeli obat sejenis.

         Mengatasi krisis tersebut, J&J menyusun strategi dan bekerja sama dengan media massa. Tindakan jangka pendeknya adalah menarik dan menghancurkan 31 juta produk (product recall) kapsul Tylenol yang dianggap telah terkontaminasi oleh racun sianida dari pasar hanya dalam tempo 24 jam. Di samping itu, seluruh batch produksi sekitar 93.000 botol juga ditarik dari peredarannya di Amerika Serikat, sekaligus menawarkan penukaran Tylenol dari berbentuk kapsul dengan tablet. Suatu langkah yang menghabiskan biaya lebih 100 juta dollar. J&J juga membatalkan semua iklan komersial Tylenol yang tengah ditayangkan di berbagai media cetak dan elektronik.

         Langkah berikut, tindakan kuratif secara terpadu dengan membentuk tim posko untuk menghadapi tragedi kapsul maut tersebut. Public relations J&J bekerja sama dengan media massa menjawab secara tertulis ribuan pertanyaan yang setiap hari dilontarkan oleh publiknya. Setidaknya 2.250 juru jual dilibatkan; satu juta pembicaraan pribadi dengan para dokter, perawat dan rumah sakit. J&J juga membuka saluran telepon hotline. Pada prinsipnya, J&J membuka semua saluran komunikasi dan informasi namun tetap terkendali. 

         Tak tanggung tanggung, upaya mengembalikan keyakinan dan kepercayaan masyarakat pada merek dagang Tylenol dilakukan oleh CEO J&J sebagai juru bicara perusahaan, yaitu James E. Burke yang muncul di berbagai saluran TV dalam berbagai kesempatan untuk menjelaskan secara gamblang dan terbuka mengenai kejadian tersebut. Bahkan pihak J&J mengadakan konferensi untuk 3000 buah stasiun televisi (lokal & nasional) dan mengundang 600 wartawan.

         Tindakan selanjutnya adalah mencari sebab-akibat terjadinya kasus tersebut. Pihak teknisi dan produksi bekerja keras melakukan penyelidikan untuk menemukan data atau fakta di tempat perkara kejadian sekaligus mencari jawaban atas kasus Tylenol maut itu pada setiap rangkaian proses produksi di pabrik hingga pengemasannya. Akhirnya ditemukan fakta bahwa pada bulan September 1982 seseorang yang tidak diketahui identitasnya telah mencampurkan racun sianida sebanyak 65mg ke dalam Extra Strenght Tylenol Capsules lewat jalur distribusi atau outletnya, dan akibat lolos dari pengawasan maka secara langsung pil tersebut dikonsumsi oleh para korban.

         Selanjutnya Kemasan tamper-resistant dengan cepat diperkenalkan, hingga akhirnya penjualan Tylenol dapat dengan cepat bangkit kembali ke tingkat pra - krisis dekat (Dezenhall, 2004). Produk kapsul Tylenol yang baru tersebut dikemas dalam bentuk khusus dengan tiga lapis pengaman (triple sealed and tamper resistant packaging) yang tidak gampang dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Keterbukaan pihak J&J mampu merebut kembali sekitar 80% pangsa pasarnya dalam jangka waktu setahun setelah krisis tersebut terjadi. Masyarakat sangat bersimpati terhadap usaha keras J&J dalam mengatasi krisis yang menelan biaya ratusan juta dollar karena J&J lebih mementingkan keselamatan konsumennya dibandingkan kerugian perusahaan. Hanya dalam waktu 18 bulan, J&J berhasil bangkit kembali dan produknya justru semakin melejit di pasaran.

         Setelah krisis mulai mereda, tidak berapa lama sempat terulang lagi kasus yang nyaris serupa dengan adanya laporan seorang wanita di New York mengalami ‘kecelakaan’ setelah mengkonsumsi kapsul Tylenol. J&J yang telah berpengalaman dalam menanggulangi kasus yang sama segera menawarkan penukaran ke dalam bentuk tablet atau pengembalian uang bagi konsumen yang telah terlanjur membeli Tylenol untuk memulihkan kepercayaan terhadap perusahaan.

         Tindakan selanjutnya, pihak J&J mengontrol reaksi konsumen atas berita-berita negatif yang muncul di berbagai media massa, berupaya untuk mengurangi kerusakan atau kerugian yang terjadi dan kemudian secara perlahan dan pasti akan menciptakan kembali kepercayaan atau memperbaiki citra yang telah hancur itu dengan menawarkan penukaran dalam bentuk tablet. Pihak J&J tetap berusaha keras membangun kembali keutuhan kredibilitas serta integritas yang tinggi di mata publiknya, walaupun telah dua kali dihantam oleh kasus krisis yang sama. Sepenjang sejarah, bisa dikatakan manajemen krisis J&J pada kasus tylenol ini merupakan salah satu penanganan krisis yang tersukses. J&J bahkan memenangkan “Silver Anvil Award” dari Public Relations Society of America karena kesigapan perusahaan dalam mengatasi krisis.

 


Kasus Air Mineral Perrier Terkontaminasi Bensin 

(Regester & Larkin, 2003:125-127)

         Kasus penarikan produk juga pernah dialami perusahaan air minum mineral Perrier yang berasal dari perusahaan yang sama di Perancis. Namun dalam penanganannya sangat kontras dengan penanganan yang dilakukan oleh J&J. Ketika manajemen Perrier mendapatkan laporan bahwa di Amerika Serikat terdapat bensin dalam beberapa botol air mineral yang diproduksinya, mereka menganggap problem tersebut sebagai ‘masalah kecil yang akan dilupakan orang dalam beberapa hari’. Namun anggapan mereka salah besar, dan apa yang mereka remehkan terbukti telah menghasilkan masalah besar bagi perusahaan. Hanya butuh waktu 24 jam saja, sebelum akhirnya saham Perrier jatuh drastis akibat semakin banyak ditemukannya contoh produk yang terkontaminasi bensin di seluruh dunia.

         Akibat dari kasus tersebut, di Amerika Serikat, Perrier memutuskan untuk menarik kembali jutaan botol air mineral mereka yang sudah mengisi rak rak supermarket. Tindakan ini sempat dikritik oleh Perusahaan induknya di Perancis yang mengatakan bahwa tindakan ini tidak lain hanya sebagai usaha “menyenangkan” orang Amerika dan bukan karena memikirkan gangguan kesehatan yang akan ditimbulkan produk mereka. Dalam beberapa tingkatan, perbedaan kedua negara dalam cara memandang suatu masalah terefleksi pada teknik pemasarannya. Di Amerika Serikat, iklan Perrier berbunyi “Perrier is Perfect” (Perrier itu Sempurna), sedangkan di Perancis iklannya berbunyi, “Perrier C’est Fou” (Perrier itu Gila) untuk menggambarkan gelembungnya yang membangkitkan semangat. Masyarakat Amerika Serikat mempermasalahkan kontaminasi bensin dalam produk Perrier karena iklannya yang seperti menjamin bahwa produk Perrier berkualitas tinggi.

         Bukannya berusaha menenangkan publik, tindakan Juru bicara perusahaan di Perancis yang mengklaim bahwa konsumen mereka di Perancis bukanlah orang-orang yang mudah panik dibandingkan dengan konsumen di negara-negara lain, sehingga manajemen Perrier tidak perlu khawatir. Hal ini bukannya membuat masalah semakin reda, sebaliknya justru menimbulkan masalah baru dan memperparah krisis. Pernyataan ini mengundang banyak protes. Karena  pernyataan ini juga dilaporkan ke negara-negara lain yang menjadi pasar kunci mereka, dan kurangnya perhatian Perrier terhadap konsumennya ini menimbulkan kemarahan besar. Eksekutif perusahaan Perrier di berbagai negara yang berbeda membuat pernyataan-pernyataan yang menimbulkan konflik dan sudah jelas bahwa tidak ada rencana strategis yang akan dilaksanakan Perrier bagi penarikan produk dari berbagai pasarnya di seluruh dunia.

         Di bawah tekanan yang meningkat, empat hari setelah penemuan awal produk yang terkontaminasi bensin di Amerika Serikat, Perrier memutuskan untuk menarik kembali seluruh produknya dari seluruh dunia dan beranggapan bahwa dengan tindakan tersebut, mereka telah menyelamatkan reputasi Perrier di seluruh dunia. Tapi ternyata reputasi produk sudah terlanjur rusak. Perrier terlihat menunda dan tidak konsisten dalam pesan-pesannya tentang keseriusan problem yang mereka hadapi. Dan mereka jadi bahan olok-olok media massa.

         Masyarakat mengkonsumsi air mineral dalam botol sebagian karena mereka merasa hal itu bergaya, namun sebagian lagi karena mereka percaya bahwa air tersebut lebih murni dari air keran. Jelas sekali bahwa produk air mineral dipasarkan dengan menonjolkan ‘kemurniannya’. Pelaksanaan penarikan produk perrier  dari seluruh dunia merupakan keputusan sangat besar dan berakibat pada kondisi finansialnya. 

         Riset yang diadakan di seluruh Eropa oleh MORI bagi perusahaan desain Henrion, Ludlow & Schmidt di tahun 1995, menemukan bahwa Perrier menduduki tempat kedua sebagai perusahaan yang identitas korporatnya paling tercemar. Tempat pertama diduduki oleh Shell setelah kasus Brent Spar. Namun yang menarik adalah survei tersebut diadakan dalam tahun yang sama dengan terjadinya kasus Brent Spar, namun lima tahun setelah kasus Perrier di atas. Hal ini menunjukkan bahwa kasus Perrier tersebut sangat membekas di benak konsumennya.

Meskipun demikian, setelah penarikan seluruh produk Perrier yang penuh keributan, situasi krisis tampaknya telah teratasi. Kampanye periklanan yang brilian menandai akhir dari masalah dan Perrier telah kembali dengan sukses ke pasar. Namun yang mengherankan, produk Perrier kembali ke pasar dengan botol berisi 750 ml dengan harga yang hampir sama dengan botol berisi 1 ltr yang dijualnya dahulu! Di sini terlihat bagaimana Perrier seperti membebankan kepada konsumen biaya kerugian perusahaan akibat kecerobohan perusahaannya sendiri. Perrier tidak pernah memperbaiki pangsa pasarnya dan dengan melemahnya saham mereka, mereka menjadi sangat mudah dimangsa oleh perusahaan yang lebih kuat. Dan akhirnya Nestle datang serta mengakuisisi Perrier.



C.Kecelakaan Alat Transportasi

         Salah satu bidang usaha yang mempunyai resiko besar adalah usaha transportasi, baik darat, laut maupun udara. Seringkali kecelakaan tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, dimana angka kejadiannya di luar dugaan. Namun dalam banyak kasus kecelakaan terjadi karena faktor human error, atau mungkin kesalahan teknis.

         Karena itu perusahaan yang bergerak di industri transportasi sudah selayaknya memiliki SOP berkaitan dengan berbagai kemungkinan terburuk jika terjadi kecelakaan misalnya. Berikut adalah contoh perbedaan penanganan krisis akibat jatuhnya pesawat dari tiga maskapai penerbangan yang berbeda.


Kasus Kecelakaan Pesawat JAL (Japan Airlines) 

(Regester & Larkin, 2003:146-147)

         JAL, maskapai penerbangan Jepang, mengalami kecelakaan terburuknya pada tanggal 12 Agustus 1985 yang mengakibatkan kematian 520 orang. Dalam penanganan krisis tersebut, maskapai ini melakukan protokol yang detil untuk menunjukkan tanggung jawab mereka terhadap kecelakaan tersebut.

         Perusahaan secara resmi mengungkapkan permintaan maaf pribadi dilakukan sendiri oleh pimpinan perusahaan. Selain itu pemakaman korban dan kerugian finansial ditanggung oleh perusahaan. Selama berminggu-minggu, lebih dari 400 karyawan JAL membantu para keluarga korban dari mengadakan upacara pemakaman hingga mengisi form asuransi. Seluruh iklan ditangguhkan. Jika JAL tidak melakukannya, perusahaan ini akan dituntut karena tidak berperi kemanusiaan dan tidak bertanggung jawab.

         JAL sangat cepat dalam memberitahu keluarga korban saat terjadi musibah tersebut. Hanya butuh satu malam saja mereka sudah dapat mengeluarkan daftar nama penumpang pesawat naas tersebut.

         Sikap empati perusahaan juga ditunjukkan pada saat pemakaman korban. Pimpinan perusahaan JAL, Yasumoto Takagi, membungkuk dalam dan lama terhadap keluarga korban dan terhadap papan yang membawa nama-nama korban. Ia meminta maaf dan merasa bertanggungjawab terhadap tragedi tersebut, serta menawarkan pengunduran dirinya. Penyesalan mendalam bahkan ditunjukkan oleh kepala bagian mesin JAL  yang melakukan harakiri (bunuh diri).

         Sebagai wujud adanya usaha untuk melakukan perubahan dan penyesalan, perusahaan telah memobilisasi karyawannya, dari pimpinan hingga yang terbawah. Perusahaan juga menanggung biaya yang dikeluarkan bagi para keluarga korban dalam rangka proses identifikasi korban. Perusahaan juga menyertakan staff maskapai serta mewakilkan seorang eksekutif untuk hadir pada upacara pemakaman. JAL juga memberikan beasiswa bagi anak-anak yang orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat mereka.

         Meskipun JAL juga sempat mendapat cacian media massa dan kehilangan pangsa pasarnya untuk sementara waktu, JAL bisa bangkit dari krisis yang menderanya dan pulih kembali karena responnya yang manusiawi, penuh perhatian dan pertanggungjawaban terhadap para korban.

 

Kasus Kecelakaan Pesawat Pan Am di Lockerbie 

(Regester & Larkin, 2003: 145-146)

         Ketika pesawat Pan Am dengan nomor penerbangan 103 terjatuh di Lockerbie – Eropa, pihak manajemen Pan Am (perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat) memutuskan untuk meminimalkan komunikasinya dengan pers. Maskapai penerbangan ini percaya bahwa kebijakan tersebut akan menjauhkan reputasi Pan Am dari konsekuensi tragis akibat tragedi di atas.

         Namun justru hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar. Dalam situasi seperti itu, media massa akan mencari sumber-sumbernya sendiri dalam menggali berita. Bagaimanapun perusahaan menghindar, mereka tetap akan menjadi berita utama meskipun mereka memilih untuk menutup mulut dan berusaha sekuat mungkin menutup semua sumber sumber informasi.

         Ketika media massa menanyakan tentang peringatan akan kemungkinan adanya serangan teroris, pada awalnya Pan Am mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak diberi peringatan sama sekali. Namun akhirnya terungkap bahwa seluruh penerbangan yang beroperasi di Eropa, termasuk Pan Am, telah diperingatkan akan bahaya serangan teroris tersebut. Pada kenyataannya, Pan Am telah berusaha menutupi kebenaran, suatu pelanggaran keras atas prinsip dasar PR.

         Pan Am sendiri tidak menunjukkan simpati dengan tidak adanyanya permintaan maaf secara resmi dari perusahaan. Bahkan CEO Pan Am, Thomas Plaskett, tidak pergi ke Lockerbie (tempat jatuhnya pesawat), tidak menghadiri pemakaman para korban serta tidak menunjukkan rasa bertanggungjawab terhadap tragedi yang terjadi tersebut. Pemberi-tahuan tentang daftar korban pun memakan waktu yang lama. Bahkan salah seorang istri korban jatuhnya pesawat Pan Am baru diberitahu tentang kematian suaminya setelah 6 minggu!

         Pilihan untuk menghindar media, justru berbuntut pada caci maki media terhadap Pan Am yang saat itu juga tengah mengalami kesulitan keuangan, sedangkan rute penerbangan trans Atlantik adalah satu-satunya rute penerbangan yang menguntungkan. Penumpang pesawat hilang kepercayaannya terhadap Pan Am, terhadap kemampuan dan kemauan Pan Am untuk menerbangkan mereka dengan aman melalui lautan Atlantik, sehingga mereka memilih naik pesawat maskapai penerbangan yang lain. Ujung dari krisis ini adalah boikot terhadap Pan Am sehingga mengakibatkan kebangkrutan.




D.Kasus Promosi Ceroboh yang Merugikan Konsumen

         Kegiatan promosi atau periklanan yang kurang hati-hati dalam perencanaan dan pelaksanaannya dapat menjadi salah satu penyebab krisis di perusahaan. Promosi yang tidak mengikuti kaidah etis berkaitan dengan Undang Undang periklanan juga dapat berakibat pada tuntutan hukum. Misalnya promosi yang mengandung unsur penipuan atau pembodohan publik. Di Indonesia misalnya kasus iklan ramalan Ki Joko Bodo beberapa tahun silam. Contoh lainnya adalah kasus promosi Keju Kraft yang terjadi di Amerika Serikat dan Hoover di Inggris. Akibat kecerobohan manajemen dalam merancang promosi, konsumen merasa ditipu dan sangat dirugikan. Perusahaan pun harus menanggung kerugian yang sangat besar serta cacian dari berbagai media massa serta konsumennya sendiri.


Kasus Promosi Keju Kraft di Amerika Serikat (Putra, 1999:87)

         Kasus ini berawal dari sebuah acara promosi penjualan berhadiah atas hadiah yang merupakan pencocokan antara ysng dicetak di flyer dengan apa yang ada dalam kemasan keju yang dibeli. Rincian hadiah yang tersedia adalah: hadiah utama uang tunai sebesar 17.000 dollar Amerika, sebuah mobil van merk Dodge, 100 buah sepeda roadmaster, 500 skateboard 8000 paket keju Kraft. 

         Memang dalam kasus ini tak ada korban luka atau meninggal, tak ada lingkungan yang rusak, namun Hakim Kenneth Gills dari pengadilan di Illinois memutuskan bahwa sekitar 20.000 orang berhak atas ‘santunan’ akibat kecerobohan keju Kraft dalam melakukan promosinya. Pasalnya, sehari setelah peluncuran program promosi ini, kantor perusahaan keju Kraft di Glenview, Illinois kebanjiran telepon yang mengklaim hadiah sebuah mobil van. Sampai akhir kontes, ada 20.000 klaim atas hadiah, hampir 3 kali lipat dari hadiah yang dijanjikan oleh Kraft, yakni sebanyak 8.600. Di antara 20.000 klaim itu, 10.000 di antaranya mengajukan klaim untuk hadiah sebuah mobil van merk Dodge. Semua ini terjadi akibat kecerobohan pihak Kraft dalam menyusun aturan main dalam kontes tersebut dan ketidaktelitian dalam pencetakan flyer serta kemasannya.

 


Daftar Pustaka

Aris, Corporate Garuda dalam hadapi situasi krisis, http://www.scribd.com/doc/10031257/Corporate-Garuda-Dlm-Hadapis-Situasi-Krisis

Bhasin, Kim, 9 PR fiascos that were handled briliantly by management, http://ww. Businessinsider.com/pr-disaster-crisis-management-2011-5?=1#xzz2hP1wk0k

Barton, Laurence. Crisis in Organizations: Managing and Comunicating in the Heat of Chaos. Cincinnati: South-Western Publishing, 1993.

Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.

Cutlip, Scott M., Allen H. Center & Glen M. Broom, Ph.D. Effective Public Relations. Eight Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 2000

Dezenhall , E. USA Today, 2004/03/17, http://www.usatoday.com/news/opinion/editorials/2004-03-17-dezenhall_x.html | url

Goldman, A.; Reckard, E. (2007). LA Times http://www.latimes.com/business/printedition/la-fi-pr18aug18,0,3471349.story?page=1&coll=la-headlines-pe-business |url=  

Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Terjemahan Dewi Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.

Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.

White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of Public Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995

Weiner, David, Crisis Communication : Managing Corporate Reputation in The Court of Public Opinion, http://iveybusinessjournal.com/topics/the-workplace/crisis-communications-managing-corporate-reputation-in-the-court-of-public-opinion#.Ukd3wNLPUbk, March/April, 2006

Witt,  Howard (April 25, 1985). "Corporate news: Procter symbol succumbs to devilish rumor". Chicago Tribune. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Procter_%26_Gamble



Komentar