KRISIS DAN PENGELOLAANNYA 2

KRISIS DAN PENGELOLAANNYA 2


         Saat menghadapi krisis, manajemen organisasi atau perusahaan umumnya akan mengalami kepanikan. Hal itu seringkali mennyebabkan perusahaan merasa perlu untuk mengamankan atau menyembunyikan informasi dari penglihatan pubik. Seringkali karena ketakutan bahwa kesalahan yang dilakukan perusahaan akan terekspose semakin luas oleh media, perusahaan berusaha menghindari media atau bahkan berusaha membohongi media atau menyampaikan informasi yang keliru tentang suatu kasus. Padahal, justru di saat genting seperti ini perusahaan tidak semestinya menghindari dari media. Menurut Fearn-Banks, Haggart, Stubbart yang dikutip Ngurah Putra (1999) komunikasi pada saat organisasi menghadapi krisis menjadi sangat penting disebabkan antara lain karena krisis dicirikan oleh adanya ketidakpastian (uncertainty), konflik kepentingan (conflict of interest), kompleksitas dan keterlibatan emosional. Pada saat sebuah krisis terjadi, kebutuhan akan sebuah informasi biasanya begitu tinggi. Informasi yang cepat dan tepat akan mengurangi ketidakpastian.

         Pengelolaan krisis sendiri merupakan salah satu bagian penting dari proses majamenen public relations. Public relations sebagai fungsi komunikasi berkaitan erat dengan peran teknis dalam penyelesain krisis. Sementara itu sebagai fungsi manajemen public relations beraperan penting dalam pengambilan keputusan manajemen berkaitan dengan penyelesaian krisis. 

         Berkaitan dengan fungsi komunikasi, PR harus memiliki skill khusus dalam penanganan krisis, karena proses ini melibatkan proses yang panjang mulai dari prencanaan hingga evaluasi. Pengelolaan krisis sendiri dimulai dari identifikasi, analisis, isolasi, program strategis, program pengedalian krisis hingga evaluasi. Berikut langkah-langkah pengelolaan krisis:


D. Pemilihan Strategi Penanganan Krisis

          Sejak krisis mulai menampakkan gejalanya, sesungguhnya organisasi atau perusahaan sudah seharusnya mulai memikirkan langkah strategis untuk penanggulangan krisis. Pada saat krisis masih dalam awal sebelum menjadi krisis akut, perusahaan lebih baik memfokuskan pada langkah pencegahan. Namun saat krisis sudah benar benar tidak dapat ditanggulangi, dan krisis bergerak ke tahap yang lebih luas, maka perusahaan harus menerapkan strategi pengendalian krisis. Ardianto & Soemirat (2002: 184 ) mengatakan suatu krisis organisasi perlu ditangani dengan menggunakan strategi 3P, yaitu:

  1. Strategi Pencegahan, adalah tindakan preventif melalui antisipasi terhadap situasi krisis. Dalam hal ini, organisasi perlu memiliki kepekaan terhadap gejala-gejala yang timbul mendahului krisis. 
  2. Strategi Persiapan. Bilamana krisis tidak dapat dicegah sejak dini, strategi persiapan harus dilakukan dengan melalui dua langakah: (1) perusahaaan membentuk tim krisis yang terdiri dari pemimpin organisasi dan bagian lainnya yang terkait dengan krisis. Tim harus selalu berhubungan baik melalui surat, telepon, rapat, untuk memantau krisis dari waktu ke waktu. 
  3. Strategi Penanggulangan. Apabila strategi pencegahan dan persiapan tidak sempat dilaksanakakan, langkah yang terakhir diambil adalah strategi penanggulangan, yaitu , masa kuratif. Dalam strategi penanggulangan terdapat langkah-langkah yang harus diambil sesuai dengan kondisi krisis: (1). Kondisi krisis akut, pengamanan yang harus dilakukan melalui tahap-tahap: (a). Mengidentifikasi krisis, mencari penyebab timbulnya krisis; (b). Mengisolasi krisis,agar operasional organisasi tidak terganggu , agar efektivitas penanggulangan dapat ditingkatkan; (c). mengendalikan krisis, agar krisis tidak meluas, krisis harus dikendalikan. Dalam hal ini keputusan tepat dan baik yang harus diambil.  (2). Kondisi kesembuhan, kondisi ini merupakan saat dimana organisasi menginstrospeksi mengapa krisis terjadi.


         Sementara itu saat krisis telah melanda perusahaan, umumnya ada beberapa pilihan strategi yang dapat ditempuh perusahaan untuk meminimalkan resiko yang mungkin terjadi. Pilihan strategi sendiri didasarkan pada kondisi dan situasi yang ada dalam perusahaan. Ada tiga generic strategy yang disarankan, yakni strategi (defensive), strategi adaptasi (adaptive) dan strategi dinamis (dynamic). Dengan pegangan ini, seorang praktisi public relations akan dengan mudah melakukan langkah-langkah implementasi yang dapat disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu jika terjadi kondisi krisis, perusahaan dapat mendefinisikan dan merespon dengan baik.

Sebelum mengambil langkah pengendalian krisis, perusahaan perlu melakukan penetapan strategi generik yang akan diambil. Ada tiga strategi generik yang dapat dilakukan untuk menangani krisis, yaitu:

Defensive Strategy (Strategi Defensif) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  • Mengulur waktu
  • Tidak melakukan apa-apa (not in action atau low profile)
  • Membentengi diri dengan kuat (stone walling)

Adaptive Strategy (Strategi Adaptif) dengan langkah-langkah yang mencakup hal-hal yang lebih luas sebagai berikut:

  • Mengubah kebijakan
  • Modifikasi operasional
  • Kompromi
  • Meluruskan citra

Dynamic Strategy (Strategi Dinamis), strategi ini sudah bersifat agak makro dan dapat mengakibatkan berubahnya karakter perusahaan. Pilihannya adalah:

  • Merger dan akuisisi
  • Investasi baru
  • Menjual saham
  • Meluncurkan produk baru/menarik peredaran produk lama
  • Menggandeng kekuasaan
  • Melempar isu baru untuk mengalihkan perhatian




Strategi Komunikasi Dalam Pengendalian Krisis


         Sebuah studi yang dilakukan Pinsdorf (Putra, 1999) mengungkappkan pentingnya komunikasi di saat krisis. Pinsdorf  membandingkan pengelolaan krisis yang terjadi pada perusahaan penerbangan nasional Jepang Japan Airlines yang mengalami kecelakanan pada tahun 1985, dan pengelolaan krisis oleh Pan Am, sebuah

         Perusahaan Amerika yang mengalami kecelakaan pada tahun 1988. Dari berbagai respon dan reaksi kedua perusahaan tersebut, secara garis besar dalam penanganan krisis ada dua tindakan khas yang menjadi tuntutan yaitu : (1). Tindakan-tindakan yang bercirikan keterlibatan manajemen langsung dalam merespon krisis, yaitu segi apa yang harus dilakukan organisasi pada saat krisis dan (2), tindakan komunikasi, yakni apa yang harus dikatakan oleh organisasi yang sedang menghadapi krisis. Dalam merespon krisis, pemenuhan akan informasi yang terkontrol dengan baik dan informasi yang cepat dan tepat merupakan prioritas utama. Kekurangakuratan dalam komunikasi krisis justru dapat menyebabkan semakin terpuruknya sebuah organisasi yang sedang menghadapi krisis.

         Kajian di atas sesuai dengan pendapat Dindin M. Machhfud, Senior Manager pada Divisi Public Relations PT Astra International Tbk (1998:50) , ” apabila gejala krisis mulai menampakkan diri, perusahaan perlu segera membentuk Tim Krisis yang solid, kompak dan kredibel. Tim ini bertugas untuk antara lain menghimpun, menginvetigasi, mengkaji data dan fakta secara kritis termasuk langkah-langkah: (1). Memulai proses pemulihan, (2). Menginformasikan kepada publik kunci mengenai langkah-langkah yang telah diambil dan akan dilaksanakan, (3). Mengaktifkan Pusat Krisis selama 24 jam, (4). Mengaktifkan Pusat Media dan (5). Memberikan penjelasan kepada pers mengenai perkembangan yang terjadi secara periodik- disamping menyiapkan siaran pers” .

         Rosady Ruslan (1999) dengan mengacu pada apa yang dilakukan oleh Ivy Lee ketika menangani berbagai kasus PR, menyebutkan setidaknya ada ada beberapa program khusus yang harus dilakukan oleh organisasi untuk menanggulangi krisis :

  1. Menghadapi krisis dengan sistem case by case
  2. Menunjuk salah seorang sebagai juru bicara bagi pihak ketiga
  3. Memberikan pelatihan dan pengarahan bagi karyawan, apa yang dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
  4. Tidak berspekulasi terhadap suatu peristiwa, baik mengenai jumlah kerugian yang diderita akibat krisis itu terjadi maupun nilai uang dan materi lainnya sebelum ada angka yang pasti.
  5.  Membuka semua saluran informasi, tetapi harus dikoordinasikan lewat juru bicara yang telah ditunjuk, agar tercipta satu sumber informasi yang terkendali mengenai tahapan krisis hingga penyelesaiannya.
  6. Tindakan terakhir adalah mengawasi dan mengevaluasi masalah yang telah dicapai atau yang belum diselesaikan dalam upaya mengurangi dampak dan efek krisis. Sejauh mana kerugian yang diderita, baik perusahaan maupun masyarakat lainnya, yang terseret menjadi korban dari krisis secara langsung dan tidak langsung.


         Komunikasi selama krisis menurut Sturges dkk ( Ngurah Putra , 1999) mempunyai dua fungsi dasar, yakni (1) untuk menetralisir intervensi pihak ketiga yang mungkin dapat memperparah krisis yang sedang dihadapi oleh sebuah organisasi dan (2). Untuk menjaga agar karyawan dapat tetap memperoleh informasi yang tepat tentang

         Organisasi tempat mereka bekerja, sehingga mereka menjadi tim yang memperkuat posisi organisasi dalam menghadapi krisis. Intervensi pihak ketiga umumnya datang dari media massa yang punya prinsip untuk menyampaikan setiap realitas sosial kepada khalayaknya, termasuk krisis yang sedang dialami sebuah organisasi.


         Studi­studi  tentang  komunikasi  krisis menjabarkan  berbagai  strategi  komunikasi untuk memperbaiki citra  dan mengembalikan reputasi. Allen  dan  Caillouet  (1994)  mengaji konsep­konsep impression management dalam  strategi komunikasi krisis.  Sementara  Benoit (1992)  lebih  menekankan  pada  pendekatan interpersonal  dalam  berkomunikasi    dengan stakeholder  yang  terkait  krisis  (Coombs, 2007:169).  Lebih jauh menurut Coombs (Ngurah Putra, 1999:101-102), untuk merespon sebuah krisis dapat digunakan lima strategi, yaitu: nonexistence strategy,  distance strategy, ingratiation strategy, mortification strategy dan suffering strategy, yang mana penerapannya  tergantung pada hakekat krisis yang sedang dihadapi oleh organisasi.


a.Nonexistence

         Strategi ini dilakukan oleh organisasi yang memang tidak menghadapi krisis, namun ada rumor bahwa sebuah organisasi sedang menghadapi sebuah krisis/masalah serius. 
Sehingga strategy inti dari strategi ini adalah bagaimana membuat  kesan  bahwa  seolah­olah tidak  terjadi  krisis  dalam  organisasi. 

         Komunikasi  yang  dilakukan adalah  dalam  bentuk  penyangkalan bahwa  krisis  tidak  terjadi.  Adapun taktik dari strategi ini adalah; denial – penyangkalan  bahwa  krisis  tidak terjadi, clarification – pengembangan dari  taktik  denial  untuk mengklarifikasi bahwa  krisis  tidak  terjadi,  attack­ menyerang  pihak­pihak  yang menyatakan  atau  mencoba membuktikan  krisis  yang  terjadi  dan intimidation  –  bentuk  penyangkalan yang paling keras dengan menekankan ada ancaman dalam bentuk tuntutan hukum dan kekerasan fisik pada pihak­ pihal  yang  mencoba  membuktikan krisis.

         Contoh menarik adalah Rumor jarum dalam produk PepsiCo ( 1993) (Bhasin, http://www.businessinsider.com). Krisis ini berawal dari rumor yang muncul pertama kali pada tahun 1993, ketika Pepsi-Cola mendengar adanya laporan pertama mengenai adanya jarum suntik yang diduga ditemukan di dalam botol minuman ringan Diet Pepsi di negara bagian Washington. Minggu berikutnya , lebih dari 50 laporan Diet Pepsi bermunculan di beberapa negara bagian di Amerika- yang ternyata menjadi hoax (berita simpang siur yang merupakan tipuan belaka, omong kosong). 

         Tindakan yang dilakukan oleh manajemen Pepsi Cola untuk mengatasi krisis tersebut cukup baik. Pihak manajemen menggandeng pihak ketiga, yakni FDA (Food and Drug Association) atau Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika. Baik PepsiCo dan FDA meyakini bahwa laporan tersebut adalah rekayasa , sehingga perusahaan muncul di depan publik dengan tegas, dan bersikukuh membela diri terhadap tuduhan tersebut 

         Selanjutnya pihak Pespsi Cola melancarkan serangan komunikasi yang luas untuk meyakinkan konsumen. Taktik mereka  dittermasuk diantaranya memaksimalkan hubungan media (media relations) dan mengadakan sejumah wawancara media, open house perusahaan, siaran berita press release video, dukungan pihak ketiga dan hotline konsumen.

         PepsiCo tidak membuat pernyataan samar-samar dengan hanya mengatakan pada masyarakat untuk sekedar mempercayai mereka. Mereka memproduksi empat video selama krisis, seperti laporan yang komprehensif tentang proses pengalengan soda yang di lakukan di tempat pengeolahan produk PepsiCo. Yang paling menarik adalah rekaman penyadapan seorang wanita di toko Colorado, yang menempatkan jarum suntik ke dalam kaleng Diet Pepsi belakang toko.

         PepsiCo Amerika Utara CEO Craig Weatherup juga muncul di stasiun TV berita. Ia tidak sekedar mempersenjatai diri dengan bukti visual dari laporan palsu berkaitan dengan rumor adanya jarum, tetapi juga dengan dukungan eksplisit dari FDA. Weatherup  muncul terutama pada Nightline dengan Komisaris FDA David Kessler, dan mereka berdua meyakinkan masyarakat bahwa Diet Pepsi aman dikonsumsi.

         Hasilnya cukup memuaskan,  rumor mulai lenyap dalam waktu dua minggu setelah sejumlah penangkapan oleh FDA berkaitan dengan laporan palsu tersebut. Penjualan Diet Pepsi sempat jatuh sebesar 2 % selama krisis tetapi pulih dalam waktu satu bulan .


b. Distance Strategy

         Strategi  komunikasi ini  dilakukan dengan mengakui bahwa krisis memang terjadi  namun  sekaligus  mengambil jarak  untuk  melemahkan  hubungan atau  pengasosiasian  antara  organisasi dengan  krisis. Dua hal dapat dilakukan organisasi, yakni excuse dan justifikasi. Pada strategi excuse, strategi yang dilakukan organisasi adalah dengan berusaha meminimalkan  tanggung  jawab organisasi dengan memberikan alasan bahwa  organisasi  tidak  bermaksud menyebabkan  krisis  itu  terjadi  atau berusaha mencari kambing hitam atas terjadinya  krisis. sementara pada justification,  organisasi berusaha mendapat pembenaran atas terjadinya  krisis  dan  berusaha mengedepankan bahwa dampak krisis tidak terlalu signifikan dan dapat segera diatasi (Coombs, 2007: 222). Contoh dari kasus romor Pepsi Co juga menggunakan strategi ini ketika akhirnya perusahaan berhasil memaparkan bukti rekaman penyadapan seorang wanita di toko Colorado, yang menempatkan jarum suntik ke dalam kaleng Diet Pepsi belakang toko.


c. Ingratiation Strategy

         Strategi ini dilakukan dengan cara berusaha untuk mencari dukungan publik.  Intinya adalah bagaimana komunikasi krisis yang dilakukan dapat membantu organisasi dengan menghubungkan organisasi dengan hal­hal yang kemungkinan dinilai positif oleh masyarakat. Strategi ini terdiri dari tiga taktik yaitu; bolstering –mengingatkan  masyarakat  akan aktivitas positif organisasi yang sudah dilakukan dan membawa manfaat bagi masyarakat luas, trancedence – taktik ini  mencoba menempatkan krisis dalam konteks  yang  lebih  besar,  untuk menunjukkan  bahwa  krisis  terjadi bukan semata­mata karena kesalahan organisasi  tapi  juga  terkait  dengan situasi  yang  lebih  kompleks  di  luar organisasi  yang  menyebabkan  krisis terjadi.    

         Taktik  ketiga adalah  praising others  – taktik  ini  digunakan  untuk menampilkan pihak lain yang sebelum terjadinya  krisis  telah  mendapat keuntungan  atau  manfaat  dari organisasi. Tujuannya adalah agar pihak lain  terkesan  mendukung  organisasi (Coombs, 2007: 226). Contoh yang paling nyata adalah ketika di sekitar tahun 1998, dimana keterpurukan ekonomi dunia telah membawa dampak pada situasi ekonomi nasional. Hal ini berakibat pada banyaknya PHK massal yang dilakukan perusahaan di Indonesia. PHK massal yang berujung pada sejumlah demo memang sempat menimbulkan krisis di sejumlah perusahaan.


d. Mortification Strategy

         Strategi  komunikasi  yang  dilakukan adalah dengan mencoba memohon maaf dan menerima kenyataan bahwa memang benar-benar terjadi krisis, sehingga perusahaan mendapatkan  penerimaan dari stakeholder. Strategi ini  terdiri  dari  tiga  taktik,  yaitu; remediation – memberikan kompensasi atas segala kerugian yang ditimbulkan karena  krisis, regret –  menunjukkan permintaan  penyesalan  dan permintaan  maaf  serta  penyesalan atas  terjadinya  krisis  serta recktification  –mengedepankan komunikasi yang menjelaskan langkah­ langkah  penangan  krisis  dan pencegahan agar dikemudian hari krisis tidak terjadi lagi (Coombs, 2007: 230). 

        Strategi krisis semacam ini seringkali dilakukan saat terjadi insiden dalam industri transportasi. Pada kasus kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta, misalnya. Segenap manajemen Garuda segera meminta maaf atas terjadinya krisis, terlebih saat hasil investigasi menemukan bahwa terdapat human error saat terjadi kecelakaan tersebut.

 

e. Suffering Strategy

         Strategi komunikasi yang dikedepankan adalah berusaha menunjukkan kepada  stakeholder bahwa  organisasi sangat terpukul dan menderita serta menggambarkan  bahwa  organisasi merupakan  korban  dari  suatu kesalahan, kejahatan di luar organisasi. Tujuan  komunikasi  ini  adalah  untuk mendapatkan simpati dari stakeholder (Coombs, 2007: 230). Strategi ini pernah dilakukan oleh Freeport saat sejumlah karyawan mereka menjadi korban penyerangan oleh Gerakan Papua Merdeka (OPM).

 

e.Program Pengendalian Krisis

         Manajemen krisis selalu ditekankan pentingnya identifikasi permasalahan dan langkah untuk melakukan isolasi. Jika krisis telah dapat teridentifikasi dan diisolasi, krisis akan lebih mudah diatasi. Tetapi untuk mengatasi krisis yang datang tiba-tiba, perusahaan membutuhkan waktu untuk menelusuri proses mulai dari identifikasi sampai pengendaliannya. Langkah yang disarankan adalah agar perusahaan memiliki guidance atau pegangan bila sewaktu-waktu krisis muncul. 

         Menurut Kasali (1994) program pengendalian merupakan langkah penerapan yang dilakukan menuju strategi generik yang dirumuskan. Umumnya strategi generik dapat dirumuskan jauh hari sebelum krisis muncul, yakni sebagai panduan (guidence) agar para eksekutif dapat mengambil langkah yang pasti. Berbeda dengan strategi generik, program pngedalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul.

Implementasi pengendalian diterapkan pada:

  • Perusahaan (beserta cabang)
  • Industri (gabungan usaha sejenis)
  • Komunitas
  • Divisi-divisi perusahaan

         Sejumlah perusahaan dengan tingkat kerentanan besar terhadap krisis sudah semestinya mempersiapkan progeam pengendalian ini sebagai salah satu bentuk antisipasi jika krisis menerjang. Meskipun tidak ada jaminan bahwa krisis yang sama akan dapat berhasil ditangani dengan manual guide yang sama, namun setidaknya manual guide dalam proses pengelolaan krisis cukup membantu perusahaan untuk dapat segera merespon dengan cepat pada saat krisis terjadi.

         Kasus yang dialami Johnson&Johnson merupakan contoh yang menarik, dimana setelah kasus tewasnya sejumlah orang yang mengkonsumsi tylenol, perusahaan sempat mengalami kasus serupa. Namun tindakan manajemen J&J yang dinilai sangat efektif adalah segera menawarkan penukaran ke dalam bentuk tablet atau pengembalian uang bagi konsumen yang telah terlanjur membeli Tylenol untuk memulihkan kepercayaan terhadap perusahaan.

         Selain itu manual guide yang dimiliki Maskapai Garuda dalam penanganan kecelakaan merupakan bukti bahwa perencanaan komunikasi krisis sebelum terjadinya krisis dapat menjadi penuntun bagi perusahaan saat dihadapkan pada kasus serupa di masa yang akan datang. 

         Sebelum terjadinya kecelakaan pesawat Garuda di Yogyakarta tahun 2007 silam, PT Garuda Indonesia telah memiliki accidental incident manual (AIM) yang disebut Emergency Response Plan (ERP). Accident atau incident manual (AIM) dibuat sebagai salah satu antisipasi yang dimiliki perusahaan dengan tujuan untuk mengurangi kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian para profesional (professional negligence). AIM sendiri bertujuan untuk digunakan sebagai panduan dalam melakukan koordinasi intern Garuda Indonesia jika terjadi incident atau accident pada armada Garuda dan armada yang disewa Garuda untuk operasional sebagai sistem pelaporan internal dalam penanganan incident atau accident sebagai upaya agar tidak berulang kejadian yang sama atau mirip. 

         Accident atau Incident Manual (AIM) disebarkan ke seluruh perwakilan setempat Garuda Indonesia, jajaran teknik, jajaran operasi, jajaran niaga, jajaran HRD dan umum dan diharapkan dapat segera disosialisasikan kepada jajaran di bawahnya, khususnya yang langsung berada di lini depan. Accident atau Incident Manual (AIM) ini saling menunjang terhadap manual yang sudah ada, khususnya Aircraft Crisis Manual (ACM) dan Basic Operational Manual (BOM).

         Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan Garuda G A200, informasi mengenai  kecelakaan langsung ditayangkan pada pukul 09.22 WIB. Hanya selang dua jam 27 menit. Pada saat bersamaan, Garuda juga menyediakan informasi mengenai penerbagan khusus yang disediakan bagi para keluarga korban, berikut kontak khusus untuk keluarga korban. Melalui website resminya, Garuga juga mempublikasikan informasi mengenai status para penumpang. Pukul 19.45, di hari yang sama, Garuda juga menginformasikan mengenai dua korban yang telah diidentifikasi. 

Adapun tugas Dinas ini jika terjadi sebuah accident adalah sb :

1. Mengaktifkan dan mengelola Media Information Center (MIC) sebagai pusat informasi bagi media massa.
2. Bertindak sebagai juru bicara (spoke person ) perusahaan.
3.Menyampaikan penjelasan pertama menggenai accident yang terjadisesegara mungkin dan memberikan updated informasi kepada media sesuaiperkembangan penanganan accident.
4.Meyiapkan atau membuat berita pers secara berkelanjutan sesuaiperkembangan penanganan accident.
5. Menyelengarakan konferensi pers sesuai perkembangan yang terjadi.
Memonitor perkembangan pemberitaan media.
7. Menganalisa Pemberitaan Media. 
8. menyampaikan pejelasan atau formasi kepada publik internasional menyangkut accident yang terjadi.

 

Strategi yang dijalankan untuk melaksanakan tugas tersebut adalah sbb :

  1. mengaktifkan communication team sesuai perincian tugas dan tanggungjawabnya 
  2. melaksanakan koordinasi dengan pihak terkait dalam penanganan accident
  3. menjadi sumber informasi yang cepat, akurat serta menyampaikan informasi yang penting dan mengurangi ketidakpastian
  4. bersikap penuh perhatian, jujur, terbuka, serta tidak berspekulatif
  5. memahami data atau informasi tentang aspek safety dan prosedur dalam penanganan accident

         Itulah mengapa penanganan kasus kecelakaan Garuda berjalan cepat dan bahkan tidak merembet pada krisis yang lebih dalam. Bahkan dalam waktu singkat Garuda tidak hanya berhasil memulihkan citra dan reputasi perusahaan. 

       Karena itu semestinya setiap perusahaan atau organisasi sudah semestinya melakukan perencanaan komunikasi krisis sebagai suatu bentuk strategi pengendalian krisis.


f. Evaluasi Program

         Evaluasi program merupakan salah satu bagian penting dalam managemen krisis terutama karena dalam proses evalusi ini umumnya perusahaan dapat melakukan analisis secara keseluluruhan mengenai jalannya manajemen krisis. Apakah pengelolaan krisis berhasil dan sukses, atau sebaliknya. Umumnya manajemen krisis yang berhasil berarti tercapainya tujuan dari manajemen krisis yang ditandai dengan adanya penyelesaian krisis yang tuntas hingga ke akarnya. Meskipun pada dasarnya tidak ada krisis yang benar benar tuntas, sebab krisis sendiri memiliki siklus, dan benih benih krisis yang pernah terjadi dapat kembali ke tahapan siklus krisis yang memicu krisis baru. Namun setidaknya ada kriteria obyektif yang dimiliki oleh perusahaan untuk mengukur keberhasilan manajemen krisis. Misalnya ditandai dengan melunaknya sikap media dan publik terhadap perusahaan.

Dalam siklus manajemen krisis, evaluasi merupakan fase penting ketiga, sama pentingnya dengan persiapan dan manajemen krisis. Fase dari siklus management krisis diantaranya :

  1. Persiapan, berkaitan dengan isu isu seperti perencanaan, simulasi, dan pelatihan
  2. Manajemen, berkaitan dengan isu isu seperti alokasi dan pembagian sumber daya manusia, komunikasi dan sistem komando
  3. Evaluasi, berkaitan dengan isu isu seperti pembelajaran pos-krisis, pertanggungjawaban


Siklus manajemen krisis dalam Figure 1(sumber www.focusproject.eu)

http://www.focusproject.eu/c/wiki/get_page_attachment?p_l_id=43079&nodeId=39197&title=Crisis+management+cycle&fileName=Crisis+management+cycle%2Fcrisis_management_cycle.jpg

         Selain itu pentingnya evaluasi krisis adanya proses belajar dan adaptasi (learning and adaptation) karena dari evaluasi inilah perusahaan dapat memperoleh pelajaran penting dari suatu krisis. Proses inilah yang juga disebut dengan proses pembelajaran, sehingga di masa yang akan datang perusahaan dapat mengantisipasi jika hal serupa terjadi lagi. Evan Bloom bahkan menyebut bahwa tidak adanya evaluasi dari proses manajemen krisis merupakan salah satu kesalahan fatal dalam penanganan krisis. Evan Bloom mengidentifikasikan 15 kesalahan yang sering terjadi saat perusahaan menangani krisis. Kesalahan-kesalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tidak melakukan audit yang ketat

Perusahaan yang tidak menerapkan audit yang ketat berarti mengabaikan peluang untuk mengidentifikasi potensi resiko. Audit perlu dilakukan secara berkala agar perusahaan berjalan baik dan semestinya.

2. Tidak memiliki perencanaan

Sebagaian besar perusahaan mengabaikan perencanaan sebelum terjadi krisis, karena terlalu percaya diri dapat menyelesaikan masalah ketika krisis terjadi.

3. Tidak ada rencana krisis. 

Perusahaan tidak menyadari bahwa rencana krisis public relations memberikan kerangka kerja dalam mengelola krisis yang dibutuhkan untuk menangani bencana dan berkomunikasi dengan semua pihak yang terkait.

4. Tidak ada simulasi krisis

Sangat sedikit perusahaan yang melakukan simulasi krisis untuk menguji efektivitas komunikasi dan kesiapan rencana mengahadapi krisis.

5. Komunikasi internal tidak efektif

Banyak perusahaan lupa bahwa juru bicara garda depan perusahaan adalah staf mereka. Ketika terjadi sesuatu pihak pertama adalah karyawan.

6. Komunikasi eksternal tidak efektif

Perusahaan harus dapat berkomunikasi secara proaktfe dengan media dan public eksternalnya, yaitu semua pelanggan, supplier, dan pemegang saham.

7. Memperlakukan media seperti musuh

Peru sahaan harus memperlakukan mediasebagai salah satu bagian penting dalamrantai komunikasi mereka dan membantu perusahaan pada saat krisis.

8. Mengabaikan krisis

Beberapa perusahaan mengabaikan krisis yang terjadi dan tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah.

9. Tidak berkomunikasi dengan publik

Banyak perusahaan yang gagal untuk menyadari bahwa mereka perlu berkomunikasi selama masa krisis. Semakain serius, semakin banyak mediayang akan memberitakan.

10. Tidak efektif dalam menggunakan pesan

Beberapa perusahaan memberikan penjelasan yang membingungkan kepada public, berbicara arogan, tidak menunjukkan empati terhadap korban krisis dan menolak meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan.

11. Tidak memiliki tim krisis

Perusahaan harus membentuk tim krisis yang bertanggung jawab untuk mengelola krisis dan memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan bisninya seperti biasa.

12. Tidak mengoptimalkan situs web perusahaan

Dalam krisis, situs perusahaan merupakan salah satu media komunikasi yang paling penting. Oleh sebab itu penting bagi perusahaan untuk selalu mengupdate setiap informasi sesuai dengan perubahan yang terjadi melalui website.

13. Meremehkan dampak krisis

Banyak perusahaan tidak menyadari bahwa bahaya dari dampak krisis. Mereka tidak menyadari bahwa media dan masyarakat sesungguhnya mengetahui krisis yang sedang terjadi di dalam perusahaan.

14. Hubungan yang buruk dengan staf dan pelanggan setelah krisis

Setelah krisis, perusahaan aharus membangun hubungan yang baik dengan pihak internal dan eksternal.

15. Tidak mengadakan eveluasi setelah krisis.

Evaluasi pasca krisis merupakan proses pembelajaran yang baik karena dapat mengambil hikmah dari apa yang sudah terjadi sehinggan tidak terulang kembali.


         Dalam proses evaluasi perusahaan juga dapat memanfaatkannya untuk mengetahui apa sebab sebab terjadinya krisis, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya krisis yang serupa di masa yang akan datang. Hal ini dapat menjadi masukan bagi manajemen dalam mengambil setiap keputusan. Praktisi dan konsultan yang mengkhusususkan pada strategi respon dalam krisis PR, Ross Campbell (2010) menyebutkan bahwa evaluasi pasca - krisis adalah review dari respon krisis. Bukan semata tentang evaluasi respons taktis / darurat lini depan atau proses pembersihan, lebih dari itu adalah tentang bagaimana tim krisis menanggapi merespon krisis. Item berikut adalah beberapa isu yang perlu dibahas dalam pembahasan evaluasi pasca krisis:

1 . Sebuah narasi dari peristiwa yang sebenarnya . Apa yang menyebabkan kejadian atau kasus  tersebut ?
2 . Bagaimana respon dikelola oleh tim manajemen krisis ?
3 . Bagaimana respon krisis berhubungan dengan tata kelola bisnis
4 . Apakah reputasi dan merek bisnis terpengaruh?
5 . Didasarkan pada apakah proses pengambilan keputusan?
6 . Apakah sumber daya manusia dan teknisnya sudah memadai ?
7 . Apakah organisasi masih berada dalam ancaman masalah?
8 . Apa konsekuensi yang tidak diinginkan dari insiden yang sebenarnya ?
9 . Apakah ada hambatan komunikasi ( internal maupun eksternal ) ?
10 . Apakah semua stakeholders ditawarkan jalan keluar yang efektif ?
11 . Apakah ada cukup kerjasama dengan pemerintah ?
12 . Apakah manual rencana krisis dan prosedur berguna ?
13 . Apakah respon dari sumber daya manusia efektif ?
14 . Apakah ada hambatan untuk respon krisis dari manajemen senior ?
15 . Apakah masalah hukum dan komersial ditangani secara efisien ?
16 . Apakah peran juru bicara efektif ?
17 . Apakah strategi pesannya efektif
18 . Apakah media dikelola secara efektif ?
19 . Bagaimana kelangsungan bisnis dan pemulihan dikelola ?
20 . Siapa yang ada di posisi untuk mencegah krisis ini terjadi lagi ?


         Post - evaluasi perlu dilakukan baik oleh konsultan luar atau tim manajemen senior dan sebaiknya bukan oleh tim manajemen krisis. Proses harus didedikasikan untuk terus meningkatkan kemampuan respon manajemen krisis, pengambilan keputusan, perencanaan dan protokol dan khususnya keterampilan kepemimpinan. Harus juga dipastikan bahwa tim manajemen krisis telah memahami peran dan tanggung jawabnya (Ross, 2010)

         Selain itu, dalam evalusasi perusahaan akan memperoleh pembelajaran. Pembelajaran yang diperoleh oleh perusahaan biasanya akan dimanifestasikan dalam perencanaan pengelolaan krisis yang biasanya disebut ‘manual guide’ dalam penanganan krisis. sebagai contoh adalah manual guide yang (seharusnya) dimiliki oleh perusahaan transportasi. Tidak dipungkiri bahwa industri transportasi terutama penerbangan merupakan salah satu industri yang rentan terjadinya kecelakaan baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun teknis dan human error. Salah satu yang menarik dikaji adalah manual guide yang dimiliki maskapai Garuda. Dalam kasus kecelakaan di Yogyakarta beberapa tahun silam, manual guide yang miliki Garuda sangat membantu dalam mengelola aktifitas komunikasi krisis selama penanganan kecelakaan. Tidak perlu menunggu berhari hari, bahkan hanya selang beberapa jam setelah terjadi kecelakaan, perusahaan langsung melakukan press conference dan pemberian informasi resmi kepada publik melalui website resmi. Hal ini sangat membantu meminimalisir terjadinya kesimpangsiuran informasi. Hal ini juga membantu memulihkan citra Garuda sebagai maskapai dengan tanggung jawab sosial pada seluruh penumpangnya. 

         Sesungguhnya krisis sendiri adalah saat yang tepat bagi organisasi untuk mengambil pelajaran penting  dari setiap proses penanggulangan krisis sehingga lembaga dapat belajar untuk mengingat kesalahan, ketelodoran, keberhasilan, dan kemenangan secara real time - yang berarti serentak dengan penyelesaian masalah. Dalam masyarakat tertentu yang sangat mengedepankan kejujuran dan keterbukaan, mereka sagat mengharapkan organisasi membicarakan dan menjelaskan pelajaran yang mereka ambil dari kesalahan, keteledoran, kecelakaan, atau tindakan lalai lainnya. Berbicara secara terbuka tentang hal tersebut pada dasarnya merupakan langkah besar bagi perusahaan untuk memperoleh pengampunan dari publik(Lukaszewski, 1998).

         Seperti disebutkan sebelumnya, proses manajemen krisis sendiri tidak berakhir setelah krisis telah berhasil diselesaikan. Setiap situasi harus dievaluasi secara cermat. Perusahaan dapat memulai dari liputan media yang diterima, citra yang dimiliki perusahaan setelah krisis, program jangka pendek dan jangka panjang untuk membangun kembali citra.  Rencana manajemen krisis sendiri harus terus dipantau untuk meyakinkan bahwa hal tersebut masih relevan dan tidak ada masalah baru muncul. Rencana manajemen krisis harus menjadi dokumen hidup, dievaluasi dan di-update (Lukaszewski, 1998).

         Keberhasilan pengelolaan krisis di masa depan seringkali tergantung dari memori institusional berkaitan dengan peristiwa atau kasus yang sama. Pelajaran pembelajaran krisis mengajari organisasi bagaimana untuk meramalkan, mengurangi, atau mungkin bahkan secara signifikan mengurangi kemungkinan situasi yang sama terulang lagi (Lukaszewski, 1998).

Seorang praktisi PR, Bonner, sebagaimana dikutip Bello dalam artikelnya Avoiding Public Relations Nightmares Through Crisis Management  menyebutkan bahwa strategi manajemen krisis adalah pembelajaran isomorphic, dimana sistem sistem yang berbeda dibandingkan untuk menemukan ciri ciri yang sama. Riset komparatif dapat dilakukan bredasarkan geographic, cultural/cross-cultural, and historical accounts. Bonner mengatakan belajar dari keberhasilan dan kegagalan dari skenario serupa membantu menentukan risiko yang terlibat, dan simulasi hidup apa yang terbaik yang akan menguji solusi yang digunakan oleh perusahaan. Berkaca dari tragedi “Challenger” tahun 1986,  Bonner menunjukkan: 1) hal-hal yang dapat bekerja dengan baik di laboratorium, tetapi tidak selalu di dunia nyata, 2) untuk menemukan faktor-faktor dunia nyata kita harus mencarinya, 3) jika kita melihat kembali pada setiap kasus, mana kita bisa melihat dan menemukan pola kejadian.


 




Daftar Pustaka

Coombs,  Timothy  W.  2007. Ongoing Crisis Communication Planning.  Sage Publication.

Crisis management cycle, http://www.focusproject.eu/web/focus/wiki/-/wiki/ESG/Crisis+management+cycle;jsessionid=C1BE7F4BD0F10F1F3108FBBAAF92668A

Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Lukaszewski, James E., SEVEN DIMENSIONS OF CRISIS COMMUNICATION MANAGEMENT: A STRATEGIC ANALYSIS AND PLANNING MODEL© APR, Fellow PRSA As Published in Ragan's Communications Journal, January/February 1999 Copyright © 1998, James E. Lukaszewski. All rights reserved

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

Ruslan, Rosady, SH, MBA. Seri-1: Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan Pemulihan Citra. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, Juni 1999.

Ruslan, Rosady. 2008. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada




Komentar