Kelompok dan Pengaruhnya Pada Perilaku Kominikasi

 

 

MODUL PERKULIAHAN

 

 

 

Psikologi Komunikasi

 

 

 

Sistem Komunikasi Kelompok: Kelompokdan Pengaruhnya Pada Perilaku Komunikasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Fakultas

Program Studi

Tatap Muka

Kode MK

Disusun Oleh

 

 

Fakultas Ilmu Komunikasi

Program

Public Relations

06

MK85006

Enjang Pera Irawan, S.Sos, M.I.Kom.

 

 

 

Abstract

Kompetensi

 

 

Modul ini membahas tentang proses Komunikasi Kelompok yang mencakup:Kelompok Dan Pengaruhnya Pada Perilaku Komunikasi

 

 

 

 

 

 

 

 

Mampu memahami dan menjelaskan dinamika kelompok dan perubahan sikap dan perilaku

 

Sistem Komunikasi Kelompok

Modul ini akan dimulai dengan pembicaraan tentang klasifikasi kelompok dan pengaruh kelompok pada perilaku komunikasi. Setelah itu, pada modul berikutnya kita akan melacak faktor-faktor yang memengaruhi keefektifan komunikasi kelompok – seperti biasa, dengan melihat faktor personal dan situasional. Dengan latar belakang tersebut, kita memasuki proses komunikasi kelompok prespektif dan komunikasi kelompok deskriptif.

Kelompok dan Pengaruhnya pada Perilaku Komunikasi

Para Psikolog Sosial juga mengenal mode. Pada tahun 1960-an, tema utama mereka adalah persepsi sosial. Pada dasawarsa berikutnya, tema ini memudar. Studi tentang pembentukan dan perubahan sikap juga mengalami pasang-surut. Pernah menjadi mode sampai tahun 1950-an. Begitu pula studi kelompok menjadi pusat perhatian. Setelah perang, perhatian beralih pada individu, dan ini bertahan sampai pertengahan 1970-an. Akhir 1970-an, minat yang tinggi tumbuh kembali pada studi kelompok, dan – seperti diramalkan steiner (1974) – menjadi dominan pada pertengahan 1980-an. Para pendidik melihat komunikasi kelompok sebagai metode pendidikan yang efektif. Para manajer menemukan komunikasi kelompok sebagai wadah yang tepat untuk melahirkan gagasan-gagasan kreatif. Para psikiater mendapatkan komunikasi kelompok sebagai wahana untuk memperbaharui kesehatan mental. Para ideolog juga menyaksikan  komunikasi kelompok sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran politik-ideologis. Minat yang tinggi ini telah memperkaya pengetahuan kita tentang berbagai jenis kelompok dan pengaruh kelompok pada perilaku kita.

Klasifikasi Kelompok

Tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Orang-orang yang berkumpul di terminal bus, yang antri di depan loket bioskop, yang berbelanja di pasar, semuanya disebut agregat – bukan kelompok. Supaya agregat menjadi kelompok, diperlukan kesadaran pada anggota-anggotanya akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya. Jadi, dengan perkataan lain, kelompok mempunyai dua tanda psikologis yaitu: Pertama, anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok – ada sense of belonging – yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Kedua, nasib anggota-anggota kelompok saling bergantung sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain.

Para ahli psikologi – juga ahli sosiologi --- telah mengembangkan berbagai cara untuk mengklasifikasikan kelompok. Di sini, kita akan menjelaskan empat dikotomi: primer-sekunder, ingroup-outgroup, rujukan keanggotaan, deskriptif-prespektif.

1.
Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder

Kelompok primer. Walaupun kita menjadi anggota banyak kelompok, kita terikat secara emosional pada beberapa kelompok saja. Hubungan kita dengan keluarga kita, kawan-kawan sepermainan, dan tetangga-tetangga yang dekat (dikampung kita, bukan di real estates), terasa lebih akrab, lebih personal, lebih menyentuh hati kita.

Kelompok sekunder, secara sederhana, adalah lawan kelompok primer. Hubungan kita dengannya tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita. Termasuk kedalam kelompok sekunder ialah organisasi massa, fakultas, serikat bururh, dan sebagainya.

Kita dapat melihat perbedaan utama antara kedua kelompok ini dari karakteristik komunikasinya.

Pertama, kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas. Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi, menyingkapkan unsur-unsur backstage (perilaku yang hanya kita tampakkan dalam suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok primer, kita ungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan menggunakan berbagai lambang, verbal maupun non verbal. Pada kelompok sekunder, komunikasi bersifat dangkal (hanya menembus bagian luar dari kepribadian kita) dan terbatas (hanya berkenaan dengan hal-hal tertentu saja). Lambang Komunikasi umumnya verbal dan sedikit sekali non verbal.

Kedua, komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Dalam kelompok primer, yang penting buat kita ialah siapa dia, bukan apakah dia. Kita mengomunikasikan seluruh pribadi kita. Hubungan kita dengan anggota kelompok primer bersifat unik dan tidak dapat dipindahkan (nontransferable). Ibu saya meninggal, danayah mempunyai istri lagi (seperti biasa, lebih cantik dan lebih muda). Akan tetapi, hubungan saya dengan ibu saya tidak begitu saja dapat dipindahkan kepada ibu tiri saya. Begitu pula, hubungan antara ayah saya dan ibu tiri saya adalah hubungan yang baru sama sekali. Bandingkanlah, hubungan saya dengan rekan saya yang baru. Saya dapat memindahkan hubungan sya dengan dekan lama kepada dekan yang baru tanpa ada persoalan. Hubungan saya dengan dia bersifat impersona.

Perbedaan antara hubungan personal dan impersonal sangat penting dalam kehidupan manusia. Hubungan personal, sahabat dengan sahabat atau suami-istri, apakah dimotivasi cinta atau kebencian, bersifat sementara atau menetap, menonjol secara berbeda. Kualitas hubungan personal yang paling jelas dan pasti adalah sifatnya yang tak dapat dipindahkan. Hubungan ini terikat pada individu tertentu yang tidak dapat diduplikasi atau digantikan. Hubungan personal yang baru dapat dibuat, yang lama dapat dibuang, motif utama yang merintis hubungan lama dapat memberi tempat pada motif yang lain, tetapi seorang individu tidak dapat digantikan dengan individu lain dalam hubungan yang sama. Jika Helen meninggalkan Menelaus dan lari bersama Paris, sungguh aneh untuk menggambarkan situasi baru sebagai sambungan keterikatan personal antara Menelaus dan Helen, dengan Paris sebagai pengganti. Hubungan personal antara Helen dan Menelaus terus berlanjut walaupun cinta sudah diganti dengan ketakuta dan kekecewaan. Ikatan Helen dan Paris adalah wujud baru, hubungan baru.

Ketiga, pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan daripada aspek isi. Komunikasi dilakukan untuk memelihara hubungan baik, dan isi komunikasi bukan merupakan hal yang sangat penting.

2.
Ingroup dan Outgroup

Ingroup adalah kelompok-kita, dan outgroup adalah kelompok-mereka. Ingroup dapat berupa kelompok primer maupun sekunder. Keluarga kita adalah ingroup yang kelompok primer. Fakultas kita adalah ingroup yang kelompok sekunder. Perasaan ingroup diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerja sama. Untuk membedakan ingroup dan outgroup, kita membuat batas (boundaries), yang menentukan siapa masuk orang dalam, dan siapa orang luar. Batas-batas ini dapat berupa lokasi geografis (Indonesia, Malaysia), suku bangsa (Sunda, Jawa), pandangan atau ideologi (kaum Muslimin, kaum Nasrani, Marxis), pekerjaan atau profesi (dokter, tukang becak), bahasa (Jerman,Spanyol), status sosial (kelompok menengah, elit), dan kekerabatan (keluarga, clans). Dengan mereka yang termasuk dalam lingkaran ingroup, kita merasa terikat dalam semangat “kekitaan” (we-ness). Semangat ini lazim disebut kohesi kelompok (cohesiveness), yang akan kita jelaskan kemudian.

3.
Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan

Jika Anda menggunakan kelompok itu sebagai teladan sebagaimanapun seharusnya bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif; dan jika anda menggunakan sebagai teladan bagaimana seharusnya kita tidak bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif. Kelompok yang terikat dengan kita secara nominal adalah kelompok rujukan kita; sedangkan yang memberikan kepada kita identifikasi psikologis adaah kelompok rujukan.

Menurut teori kelompok rujukan, kelompok rujukan mempunyai dua fungsi: fungsi komparatif dan fungsi normatif. Tamotsu Shibutani menambahkan satu fungsi lagi: fungsi perspektif. Saya menjadikan Islam sebagai kelompok rujukan saya, untuk mengukur dan menilai keadaan dan status saya sekaranng (fungsi komparatif). Islam juga memberikan kepada saya norma-norma dan sejumlah sikap yang harus saya miliki – kerangka rujukan untuk membimbing perilaku saya, sekaligus menunjukan apa yang seharusnya saya capai (fungsi normatif). Selain itu, Islam juga memberikan kepada saya cara memandang dunia ini – cara mendefinisikan situasi, mengorganisasikan pengalaman, dan memberikan makna pada berbagai objek, peristiwa, dan orang yang saya temmui (fungsi perspektif).

Para ahli persuasi sudah lama menyadari peranan kelompok rujukan dalam memperteguh atau mengubah sikap dan perilaku. Erwin P.Bettinghaus menyebutkan cara-cara menggunakan kelompok rujukan dalam persuasi :

a.
Jika kita mengetahui kelompok rujukan khalayak kita, hubungkan pesan kita dengan kelompok rujukan itu, dan fokuskanlah perhatian mereka kepadanya. Tentu saja bila pesan kita ingin diterima, gunakanlah kelompok rujukan positif yang mendukung pesan kita.
b.
Kelompok-kelompok itu mempunyai nilai yang bermacam-macam sebagai kelompok rujukan. Bagi sebagian orang, keluarga mungkin lebih penting dari organisasi massa; bagi orang lain sebaliknya. Dalam merencanakan pesannya, komunikator harus memperhitungkan relevansi dan nilai kelompok rujukan yang lebih tepat bagi kelompok tertentu.
c.
Kelompok keanggotaan jelas menentukan serangkaian perilaku yang baku bagi anggota-anggotanya. Standar perilaku ini dapat digunakan untuk menambah peluang diterimanya pesan kita.
d.
Suasana fisik komunikasi dapat menunjukkan kemungkinan satu kelompok rujukan didahulukan dari kelompok rujukan yang lain. Buat para penonton bioskop, kelompok artis lebih baik ditonjolkan daripada kelompok para kiai. Sebaliknya di masjid, para pemain musik rock tidak baik untuk dijadikan rujukan.
e.
Kadang-kadang kelompok rujukan yang positif dapat dikutip langsung dalam pesan, untuk mendorong respons positif dari khalayak. “Menurut Kiai Yazid, memilih PPP tidak wajib”, begitu ujar juru kampanye Golkar di depan para santri sebuah pesantren. Anda tentu maklum maksudnya.
4.
Kelompok Deskriptif dan Kelompok Prespektif

John F. Cragan dan David W.Wright dari Illinois State University, membagi kelompok pada dua kategori: deskriptif dan prespektif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukkannya secara alamiah. Kategori prespektif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah rasional yang harus dilewati oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuannya. Untuk kategori deskriptif, kita dapat “mengkelompokkan” kelompok berdasarkan tujuannya. Barlund dan Haimann menjejerkan kelompok-kelompok itu dari tujuan yang bersifat interpersonal sampai tujuan yang berkenaan dengan tugas (task) kelompok. Mereka menyusunnya dalam rentangan kontinum seperti berikut:

Kelompok  kelompok  kelompok  kelompok pembuat  kelompok

Sepintas       kataris      belajar         kebijaksanaan         aksi

     

 

Kelompok sepintas (casual groups) dibentuk hanya semata-mata untuk “membina hubungan manusiawi yang hangant”. Kelompok katarsis dimaksudkan untuk melepaskan tekanan batin atau frustasi anggota-anggotanya. Kelompok belajar tentu dibentuk untuk menambah informasi. Kelompok pembuat kebijaksanaan dan kelompok aksi kedua-duanya dibentuk untuk menyelesaikan tugas berupa perumusan kebijakan atau tindakan.

Ketika pada tahun 1960-an muncul kelompok pertemuan (encounter group) dan kelompok penyadar (consciousness-raising group), klasifikasi di atas tidak memadai lagi. Kelompok pertemuan lahir di dunia psikiatri, dibentuk untuk ppencerahan intrapersonal, untuk pertumbuhan kesehatan mental. Termasuk kedalamnya T-groups, kelompok terapi, dan kelompok sensitivitas. Kelompok penyadar lahir/ di dunia polotik, dibentuk untuk menimbulkan kesadaran identitas sosial-politik yang baru. Sekarang klasifikasi deskriptif dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

TABEL

Klasifikasi Deskriptif Berdasarkan Tujuan

 

Nama Kelompok

Tujuan

Sepintas                                                  Pertemuan                                                Penyadar                                                    Kataris                                                            Belajar                                                            Tugas

Bermain                                        Pertumbuhan interpersonal                                         Identitas sosial-politik yang baru                       Melepaskan perasaan                        Pencerahan intelektual                                  Kerja

 

Akhir-akhir ini, dengan melihat tujuan, ukuran, dan pola komunikasi, para ahli komunikasi kelompok meringkaskannya menjadi tiga kelompok saja: kelompok tugas, kelompok pertemuan, dan kelompok penyadar. Cragan dan Wright menjelaskan ketiganya seperti ini:

Kelompok tugas bertujuan memecahkan masalah, misalnya, transplantasi jantung, atau merancang kampanye politik.

Kelompok pertemuan adalah kelompok orang yang menjadikan diri mereka sebagai acara pokok. Melalui diskusi, setiap anggota berusaha belajar lebih banyak tentang dirinya. Kelompok terapi dirumah sakit jiwa adalah contoh kelompok pertemuan. Kelompok eksekutif yang pergi ke tepi pantai selama dua minggu untuk mengikuti latihan sensitivitas adalah contoh kelompok pertemuan, walaupun disini “tugas” kelompok ialah membantu setiap anggota belajar lebih banyak tentang dirinya, dan belajar memercayai dan berempati lebih baik pada orang lain.

Kelompok penyadar mempunyai “tugas” utama menciptakan identitas sosial politik yang baru. Kelompok revolusioner radikal (di Amerika Serikat) pada tahun 1960-an menggunakan proses ini dengan cukup banyak. Masih menurut Cragan dan Wright, ada enam format kelompok, yaitu diskusi meja bundar, simposium, diskusi panel, forum. Kolokium, dan prosedur parlementer.

Pengaruh Kelompok pada Perilaku Komunikasi

Anda sudah mempersiapkan sebuah naskah pidato yang baik. Anda sudah mempraktikkannya dengan lancar di depan cermin. Begitu sempurnanya latihan Anda sehingga Anda sendiri berdecak kagum akan kemampuan Anda. Akan tetapi, anehnya, begitu anda berdiri di depan hadirin, semua kemampuan itu hilang. Suara anda tersekat di tenggorokan. Pembicaraan anda terbata-bata. Keringat mengalir deras. Kaki bergetar. Anda segera menyadari bahwa orator ulung di depan cermin sekarang berubah menjadi orang linglung di depan podium. Ada apa? Kata orang, Anda demam panggung. Akan tetapi, apa yang menyebabkan demam panggung ini?

Sementara itu, anda mengenal seorang sahabat anda. Kalau ia mengobrol dengan anda pada suasana informal, pembicaraannya tidak menarik. Suaranya agak kecil, gerakan tangannya kaku, susunan kalimatnya tidak begitu teratur, dan pemilihan katanya pun kurang baik. Anehnya, bila ia berdiri di mimbar, di depan puluhan mata yang memandangnya, ia berubah menjadi “singa podium” – lengkap dengan getaran suara yang menyetrum, susunan kalimat yang mempesona, dan cara penyampaian yang memikat. Apakah ini juga demam panggung? Apa gerangan yang mengakibatkan perubahan perilaku komunikasi ini?

Jawabannya sederhana. Orang linglung dan “singa podium” dalam  contoh di atas di bentuk karena pengaruh kelompok, karena reaksi sejumlah orang yang menyaksikan perilaku komunikasinya. Perubahan perilaku individu terjadi karena – apa yang lazim disebut dalam psikologi sosial sebgai – pengaruh sosial (social influence). “social influence occurs whenever our behavior, feelings, or attitudes are altered by what other say or do” , begitu definisi Baron dan Bryne. Di sini, kita akan mengulas tiga macam pengaruh kelompok: konformitas, fasilitas sosial, dan polarisasi.

Konformitas (conformity)

Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Jadi, kalau Anda merencanakan untuk jadi ketua kelompok, aturlah rekan-rekan Anda untuk menyebar dalam kelompok. Ketika anda meminta persetujuan anggota, usahakan rekan-rekan Anda secara berurutan menunjukkan persetujuan mereka. Timbulkan kesan seakan-akan seluruh anggota kelompok sudah setuju. Besar kemungkinan anggota-anggota berikutnya untuk setuju juga. Menurut Kiesler dan Kiesler (1969), konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok – yang riil atau yang dibayangkan.

Penelitian paling tua tentang konformitas dilakukan oleh Moore (1921). Moore meminta pendapat para mahasiswa tentang sejumlah hal. Misalnya, mereka disuruh membaca pasangan kalimat dalam bahasa Inggris, dan diminta untuk menentukan mana kalimat yang benar. Kelompok yang sama juga harus menilai mana yang paling jelek secara etis di antara beberapa pasangan pelaku (misalnya, antara “penghianatan pada sahabat” dengan “memperkaya diri dengan cara yang haram”). Setelah dua setengah bulan, mereka disuruh lagi menilai hal yang sama, tetapi kali ini didahului dengan pemberitahuan mengenai pendapat mayoritas anggota kelompok. Seperti sudah diduga, banyak di antara mereka mengubah pendapatnya karena desakan suara mayoritas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas. Betulkah kita dapat memengaruhi orang bersepakat dengan memanipulasikan tekanan kelompok? Betul, dengan mempertimbangkan beberapa persyaratan. Konformitas tidak sesederhana yang diduga orang. Seperti paradigma utama dalam buku ini, konformitas adalah produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor situasional yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan tingkat kesepakatan kelompok.

Seperti tampak pada penelitian Sherif, makin tidak jelas dan makin tidak berstruktur situasi yang kita hadapi, makin besar kecenderungan kita untuk mengikuti kelompok. Bila khalayak berbuat bingung dan kita kacaukan kerangka rujukannya, maka kita akan mudah memengaruhi mereka dengan pengaruh kelompok. Dalam hubungan inilah, pada tahun 1954, Leon Festinger menjelaskan gejala konformitas dengan teori perbandingan sosial (social comparison theory). Dalam diri kita, kata Festinger, ada dorongan untuk menilai pendapat dan kemampuan kita. Kita tidak ingi  kelihatan salah di hadapan orang banyak.

Untuk menghindari bencana sosial, kita selalu mencari bukti yang relevan. Jadi Festinger menegaskan pengaruh sosial informasional. Untuk beberapa hal, bukti mudah kita peroleh di dunia fisik. Tetapi untuk kebanyakan pendapat, persepsi, dan kemampuan kita, tidak ada cara yang objektif dan nonsosial untuk menilai diri kita. Yang bisa kita lakukan ialah melihat kepada orang lain.. Karena kita sangat bergantung pada respons orang lain, kenyataan sosial menjadi sama pentingnya, kadang-kadang lebih penting dari kenyataan fisikal. Bila orang dihadapkan pada norma yang terus berubah dalam masyarakat yang kompleks, mereka menengok kepada orang di sekitarnya untuk menentukan bagaimana mereka memberikan respons.

Konteks situasi juga memengaruhi konformitas. Ada situasi yang menghargai konformitas, disamping situasi yang mendorong kemandirian. Kecenderungan untuk konformitas akan terjadi lebih besar pada situasi pertama ketimbang situasi kedua. Teori behaviorisme tentang ganjaran dan hukuman menjelaskan gejala ini. Jika, anda tahu orang akan lebih menyukai anda bila anda sepakat dengan pendapat dan keyakinan mereka, anda akan cenderung melakukan konformitas pada kelompok mereka pada waktu yang akan datang.

Cara individu menyatakan penilaian dan perilakunya juga berkaitan dengan konformitas. Umumnya, bila individu harus menyatakan responsnya secara terbuka, ia cenderung melakukan konformitas daripada kalau ia dapat mengungkapkannya, secara rahasia. Beberapa penelitian di Amerika, membuktikan gejala ini. Orang Amerika – katanya – lebih terbuka daripada orang Indonesia. Akan tetapi, mereka juga lebih berani berbeda pendapat ketika pendapat mereka dirahasiakan daripada pendapat mereka diketahui kelompoknya. Oleh karena itu, jangan terlalu percaya pada pernyataan kebulatan tekad yang dinyatakan secara terbuka. Para psikolog kemudian membedakan antara kesepakatan publik (public compliance) dan kesepakatan privat (private acceptance). Keduanya jarang sama.

Beberapa penelitian lainnya membuktikan bahwa pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran mayoritas anggota kelompok yang menyalakan penilaian. Sampai tingkat tertentu, makin besar ukurannya, makin tinggi tingkat konformitas. Ada ukuran tertentu yang memadai untukmemengaruhi konformitas. Lebih dari itu, orang tidak terpengaruh lagi. Lagi pula, siapa yang menyatakan penilaian juga harus dipertimbangkan. Anda sendirian mempertahankan keyakinan anda dalam sebuah rapat. Kemudian ada anggota lain menyatakan dukungan pada pendapat anda. Sayangnya, anggota itu dikenal sebagai anggota terbodoh dalam kelompok anda. Apakah anda akan terdorong untuk mempertahankan pendapat anda atau sebaliknya? Dalam konteks ini kita akan lebih mendengarkan pendapat orang yang lebih padai daripada orang yang sebaliknya

Di samping faktor-faktor situasional, beberapa faktor personal erat kaitannya dengan konformitas – usia, jenis kelamin, stabilitas, emosional, otoritarianisme, kecerdasan, motivasi, dan harga diri. Pada umumnya, makin tinggi usia anak, makin mandiri ia, makin tidak bergantung pada orang tua, dan makin kurang kecenderungannya untuk konformitas. Wanita lebih cenderung melakukan konformitas daripada pria. Orang yang emosinya kurang stabil lebih mudah mengikuti kelompok daripada orang yang emosinya stabil. Walaupun hasil-hasil penelitian tidak konsisten, kecerdasan berkorelasi negatif dengan konformitas. Artinya, makin tinggi kecerdasan, makin kurang kecenderungan ke arah konformitas. Motif berprestasi (need for achievment), motif aktualisasi diri, dan konsep diri yang positif menghambat konformitas. Makin tinggi hasrat berprestasi seseorang, makin tinggi kepercayaan dirinya, makin sukar ia dipengaruhi oleh tekanan kelompok.

Akan tetapi, semua pernyataan yang disebutkan tadi harus dilihat dalam hubungannya dengan faktor-faktor situasional. Orang yang kepercayaan ditinya tinggi pun akan terpengaruh oleh kelompok dalam situasi yang ambigu. Konformitas tidak selalu jelek, juga tidak selalu baik. Untuk nilai-nilai sosial yang dipegang teguh oleh sistem sosial, konformitas diperlukan. Untuk kebersihan moral, kita memerlukan konformitas. Akan tetapi, untuk perkembangan pemikiran, untuk menghasilkan hal-hal yang baru dan kreatif, konformitas merugikan. “kebebasan dan keragaman boleh jadi meresahkan sewaktu-waktu, tetapi itulah harga yang harus kita bayar untuk menghindari kebekuan”, tulis Baron dan Bryne, seperti berkhotbah. Alternatifnya bukan nonkonformitas (selalu tidak setuju), melainkan kemandirian (independence). Mandiri bukan menentang kelompok, melainkan bersedia untuk berbeda pendapat. Inilah freedom to be different!

Fasilitas sosial

Banyak pemain teater yang mengalami kejadian aneh. Waktu latihan, mereka selalu merasa akting mereka selalu mengecewakan. Waktu pertunjukkan yang sebenarnya, prestasi akting mereka meningkat tanpa mereka pahami. Ketika mereka merintih, air mata mereka betul-betul keluar, dan suara mereka benar-benar suara yang bergetar penuh derita. Hal yang sama juga terjadi pada para pemusik, pelukis, orator, atau guru. Prestasi individu yang meningkat karena disaksikan kelompok Allport menyebutnya sebagai fasilitas sosial. Fasilitas (dari kata Prancis facile, artinya mudah) menunjukkan kelancaran atau peningkatan kualitas kerja karena ditonton kelompok. Kelompok memengaruhi pekerjaan sehingga terasa menjadi lebih mudah.

Fasilitas sosial sebetulnya bukan istilah yang tepat karena dalam beberapa hal, kehadiran kelompok malah menghambat pelaksanaan kerja. Istilah ini mungkin tepat dipergunakan untuk penelitian-penelitian awal dalam psikologi sosial. Eksperimen pertama dalam psikologi sosial memang berkenaan dengan fasilitas sosial. Triplett (1897) menunjukkan bagaimana prestasi anak-anak meningkat bila pekerjaan mereka dilakukan dihadapan kelompok.

Robert Zajonc (1965) meninjau kembali berbagai penelitian ini dan mencoba menjelaskan hasil yang tidak konsisten ini dengan teori drive. Menurut teori ini, kehadiran orang lain – dianggap – menimbulkan efek pembangkit energi (energizing effect) pada perilaku individu. Efek ini terjadi pada berbagai situasi sosial, bukan hanya di depan orang yang menggairahkan kita. Energi yang meningkat akan mempertinggi kemungkinan dikeluarkannya respons yang dominan. Respons dominan adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respons yang dominan itu adalah respons yang benar, terjadi peningkatan prestasi. Bila respons dominan itu adalah respons yang salah, terjadi penurunan prestasi. Untuk pekerjaan yang mudah, respons dominan adalah respons yang benar; karena itu, peneliti-peneliti terdahulu melihat kelompok mempertinggi kualitas kerja individu. Untuk menghafal pelajaran baru, dapat mengurangi kualitas kerja individu. Zajonc dan Sales (1966) memang kemudian melakukan eksperimen yang memperkuat teorinya.

Dengan teori Zajonc, manakah cara yang paling baik untuk memperoleh indeks prestasi (IP) yang baik dalam ujian?  Apakah Anda (1) belajar sendiri kemudian ujian sendiri, (2) belajar sendiri kemudian ujian dihadapan orang lain, (3) belajar bersama orang lain dan ujian pun bersama mereka? Menurut Zajonc, yang paling baik adalah alternatif kedua. Namun, sebelum ujian, Anda harus sudah menguasai jawaban yang benar atau sudah secara serius mempelajari catatan kuliah anda. Bila anda termasuk yang baru belajar sehari sebelum ujian – yakni, respons dominan adalah respons yang salah – anda sebaliknya memilih alternatif yang pertama (belajar sendiri dan ujian sendiri).

Zajonc berhasil mengatasi kemelut inkonsistensi pada penelitian sebelumnya. Tetapi juga mungundang masalah baru untuk penilaian yang akan datang. Apakah fasilitas sosial terjadi karena semata-mata kehadiran anggota-anggota kelompok atau karena semata-mata kehadiran anggota-anggota kelompok atau karena merasa diawasi dan dinilai oleh kelompok – karena mere physical atau evaluation apprehension? Cottrell et al. (1968) mengulangi penelitian Zajonc dan Sales dalam tiga situasi: (1) sendirian dalam ruangan eksperimental, (2) dihadapan dua orang lain yang matanya tertutup, dan (3) di hadapan dua orang lain yang menyatakan tertarik untuk menonton perbuatan subjek. Seperti sudah di duga, fasilitas sosial terjadi pada situasi ketiga. Banyak peneliti lainnya (Innes dan Young, 1975; Martens dan Landers, 1972; Paulus dan Murdock, 1971) memperkuat kesimpulan ini dengan menunjukkan situasi tambahan: subjek diberi tahu bahwa perilakunya bukan saja diawasi, tetapi juga dinilai oleh kelompok. Ternyata, disini pun, prestasi pekerjaan subjek meningkat. Kenyataan inilah yang mampu menjelaskan mengapa pidato anda menjadi lebih baik setelah anda tahu bahwa di antara hadirin ada kekasih anda, yang – anda duga – menilai kemampuan anda. Ini juga yang menjadi asumsi mengapa diskusi panel, wawancara publik, perdebatan publik, simposium, dapat menghasilkan kualitas diskusi yang lebih baik; karena semua cara diskusi ini dilakukan di depan kelompok.

Polarisasi

Whyte (1956) dalam bukunya yang terkenal, The Organization Man, menyarankan kepada pimpinan perusahaan untuk membentuk panitia bila ingin memeroleh nasihat yang konservatif. Ada anggapan yang kuat bahwa dalam kelompok, individu menjadi kurang berani, kurang kreatif, dan kurang inovatif. Sedangkan Stoner (1961) dalam penelitiannya menemukan bahwa orang justru cenderung membuat keputusan yang lebih berani ketika mereka berada dalam kelompok daripada ketika mereka sendirian. Gejala ini kemudian dikenal sebagai geseran risiko (risky shift). Ada yang mengatakan bahwa geseran risiko terjadi karena difusi tanggung jawab. Dalam kelompok, individu dapat berbagi tanggung jawab dengan orang lain sehingga risiko kegagalan juga ditanggung bersama.

Yang lain mengemukakan teori nilai (value hypothesis), dimana Orang Barat menghargai orang yang berani mengambil risiko. Mereka ingin sama beraninya dengan kawan-kawannya dalam kelompok. Pada waktu diskusi, segera mereka tahu bahwa mereka tidak seberani yang diduganya. Akibatnya, mereka memilih alternatif yang lebih berani. Dalam banyak situasi, pada kelompok, individu malah membuat keputusan yang lebih konservatif. Lebih tepat kalau memasukkan risky shift ini pada gejala yang lebih umum, yaitu geseran menuju polarisasi. Yang terjadi dalam komunikasi kelompok sebenarnya begini. Bila sebelum diskusi kelompok para anggota mempunyai sikap agak mendukung tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan itu. Sebaliknya, bila sebelum diskusi para anggota kelompok agak menentang tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan menentangnya lebih keras lagi.

Polarisasi ini menurut sebagian para ahli boleh jadi disebabkan pada proporsi argumentasi yang menyokong sikap atau tindakan tertentu. Bila proporsi terbesar mendukung sikap konservatif, keputusan kelompok pun akan lebih konservatif, dan begitu sebaliknyaPolarisasi mengandung beberapa implikasi yang negatif.

1.
Pertama, kecenderungan ke arah ekstremisme menyebabkan peserta komunikasi menjadi lebih jauh dari dunia nyata; karena itu, makin besar peluang bagi mereka untuk berbuat kesalahan. Produktivitas kelompok tentu menurun. Gejala ini disebut sebagai groupthink. Groupthink, yaitu proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat kohesif dimana anggota-anggoat berusaha mempertahankan konsensus kelompok sehingga kemampuan kritisnya menjadi tidak efektif lagi.
2.
Kedua, polarisasi akan mendorong ekstremisme dalam kelompok gerakan sosial atau politik. Kelompok seperti ini biasanya menarik anggota-anggota yang memiliki pandangan yang sama. Ketika mereka berdiskusi, pandangan yang sama ini makin dipertegas sehingga mereka makin yakin akan kebenarannya. Keyakinan ini disusul dengan merasa benar sendiri (self-righteousness) dan menyalahkan kelompok lain. Proses yang sama terjadi pada kelompok saingannya. Terjadilah polarisasi yang menakutkan di antara berbagai kelompok dan di dalam masing-masing kelompok.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Psikologi Komunikasi, Jalaluddin Rakhmat, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001

 

13

Psikologi Komunikasi

Pusat Bahan Ajar dan eLearning

 

 

Enjang Pera Irawan, S.Sos, M.I.Kom

http://www.mercubuana.ac.id

 

Komentar